Senin 26 Apr 2021 16:18 WIB

25 Tahun Otda, Daerah Masih Bergantung Transfer Pusat

Mendagri melihat setelah 25 tahun Otda masih terdapat sejumlah kekurangan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Indira Rezkisari
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan dalam periode 25 tahun Otda atau otonomi daerah masih ada daerah yang belum mengembangkan PAD sebagai sumber pemasukan.
Foto: ANTARA/Nova Wahyudi
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan dalam periode 25 tahun Otda atau otonomi daerah masih ada daerah yang belum mengembangkan PAD sebagai sumber pemasukan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, mengatakan, setelah otonomi daerah (otda) diberlakukan 25 tahun di Indonesia, masih terjadi sejumlah kekurangan. Salah satunya, masih ada beberapa daerah yang tidak mandiri atau bergantung pada dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dari pemerintah pusat.

"Kenyataannya setelah 25 tahun, masih banyak daerah yang sangat tergantung dari transfer pusat," ujar Tito dalam peringatan Hari Otda ke-25 yang disiarkan daring, Senin (26/4).

Baca Juga

Ia mengatakan, masih banyak daerah yang belum mengembangkan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu sumber pemasukan daerah. Ditambah lagi dengan terjadinya kebocoran-kebocoran karena malapraktik, sehingga akhirnya pembangunan berjalan lamban.

Namun, kata Tito, ada juga beberapa daerah yang PAD-nya meningkat bahkan melebihi dari transfer pusat. Kemudian, daerah itu memiliki sumber-sumber pemasukan lainnya seperti dari pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Daerah dengan kapasitas fiskal tinggi ditandai PAD yang lebih besar dibandingkan transfer pusat, sehingga ketika pusat bergejolak tidak berpengaruh terhadap keuangan daerahnya. Daerah ini antara lain, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kabupaten Badung, Bali, Mimika, dan Merauke.

Dengan demikian, menurut Tito, kapasitas fiskal yang baik dapat mempercepat pembangunan di daerah. Namun, di sisi lain, ada pula dampak pemilihan kepala daerah (pilkada) yang menjadi konsekuensi lahirnya otonomi daerah.

Kepala daerah yang terlegitimasi karena dipilih langsung warganya tak ayal mendatangkan dampak negatif. Pilkada erat kaitannya dengan politik biaya tinggi, karena untuk ikut serta dalam pilkada membutuhkan modal yang besar, seperti biaya kampanye, biaya saksi calon, dan sebagainya.

Politik biaya tinggi itu kemudian memicu praktik korupsi karena gaji kepala daerah sepertinya tak cukup menutupi modal yang dihabiskan untuk pilkada. Sehingga, kepala daerah menggunakan cara yang tidak legal untuk menambah pundi-pundinya.

"Sehingga menimbulkan salah satu akar masalah tindak pidana korupsi oleh kepala daerah," kata Tito.

Tak hanya itu, Tito melanjutkan, pilkada juga menimbulkan potensi konflik. Keterbelahan suara masyarakat dalam penyelenggaraan pilkada itu sendiri bisa memicu konflik antarwarga.

Kemudian, dari pemberlakuan otonomi daerah, timbul euforia pengajuan daerah otonomi baru (DOB). Menurut Tito, ada satu kabupaten yang daerahnya tidak mencapai 15 ribu penduduk tetapi ingin memecah wilayah menjadi daerah otonomi baru.

Padahal, kata Tito, pembentukan DOB memerlukan biaya yang sangat tinggi. Biaya untuk membentuk pemerintahan baru, biaya membangun infrastruktur, melakukan rekrutmen pegawai, dan lain-lain.

"Oleh karena itu, ke depan kami kira otonomi daerah ini perlu terus kita lanjutkan untuk memberikan ruang berinovasi. Silakan rekan-rekan kepala daerah berinovasi, berkreasi, terutama untuk meningkatkan pendapatan asli daerah agar lebih mampu untuk mandiri," tutur Tito.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement