REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Hukum atau Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani mendesak Polri untuk transparan dalam kasus unlawful killing terhadap 6 laskar Front Pembela Islam (FPI). Ia menyayangkan sikap Polri yang terkesan menutupi kasus itu.
Arsul berharap Polri dalam secara kontinu menyebarkan informasi soal perkembangan kasus unlawful killing. Hingga saat ini, Polri bahkan belum mengumumkan inisial para tersangka.
Publik menantikan sikap adil Polri dalam menindak anggotanya sendiri yang tersandung kasus pembunuhan."Komisi 3 meminta agar perkembangan proses hukum terhadap tiga anggota Polri yang diduga melakukan unlawful killing bisa disampaikan secara berkelanjutan, khususnya tentu yang menyangkut 2 anggota yang sedang diproses," kata Arsul pada Republika, Kamis (8/3).
Arsul mengimbau Polri bersikap bijaksana, profesional dan transparan dalam penyidikan kasus unlawful killing. Arsul mengingatkan kasus ini selalu menjadi sorotan publik. Segala tindak tanduk Polri menangani kasus ini tak luput dari mata masyarakat.
"Ini kasus yang mendapatkan perhatian luas dari masyarakat khususnya umat Islam, sehingga keterbukaan Polri juga selalu diharapkan," ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.
Arsul mempertanyakan langkah Polri yang tak kunjung menahan tersangka kasus unlawful killing yang masih hidup. Ia menganjurkan Polri membeberkan alasannya agar tak menimbulkan keresahan masyarakat.
"Termasuk bagaimanakah status anggota Polri yang menjadi tersangka tersebut apakah sudah ditahan atau belum. Kalau belum apa yang menjadi pertimbangan Polri," ucap mantan timses Jokowi-Ma-ruf tersebut.
Diketahui, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atas tewasnya empat Laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek. Awalnya, tiga orang tersebut berstatus sebagai terlapor, dan satu diantaranya telah meninggal dunia akibat kecelakaan.
Untuk salah satu tersangka berinisial EPZ yang telah meninggal dunia terlebih dulu maka penyidikannya diberhentikan.
Keputusan pemberhentian ini berdasarkan pasal 109 KUHAP. Adapun dua tersangka tersisa belum dilakukan penahanan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka. Terkait alasan tidak dilakukan penahanan terhadap dua tersangka kasus pelanggaran HAM tersebut, polisi mengklaim memiliki pertimbangan sendiri.