Kamis 08 Apr 2021 18:12 WIB

Bencana Alam NTT dan Mitigasi 4.0

Rentetan bencana harus menyadarkan kita pentingnya sistem mitigasi yang tangguh.

Sejumlah warga bergotong royong memindahkan bantuan logistik dari sejumlah lembaga dan pemerintah untuk korban banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (7/4/2021). Bencana alam yang melanda pada Minggu (4/4) tersebut mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia dan ratusan warga mengungsi.
Foto:

Penanganan bencana merupakan tanggung jawab dari pemerintah pusat dan daerah. Prinsip-prinsip penanggulangan bencana, antara lain cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna.

Menurut UU No 24 Tahun 2007, tujuan utama penanggulangan bencana adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, dan menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Pelaksana penanggulangan bencana menurut UU adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Badan ini butuh data akurat saat bencana terjadi agar bisa melakukan penanggulanan cepat, tepat, terkoordinasi dengan lembaga pemerintah terkait.

Bencana alam yang terus terjadi merupakan peringatan, agar kita selalu menyempurnakan sistem mitigasi dan mekanisme tanggap darurat secara cepat dan tepat dengan bantuan teknologi terkini. Teknologi big data semakin dibutuhkan guna memperkuat mitigasi bencana berdasarkan dampak dan peringatan berdasarkan risiko. Big data adalah kumpulan data berukuran sangat besar, yang akan dianalisis atau diolah lagi untuk keperluan tertentu.

Misalnya, membuat keputusan, prediksi, dan lainnya. Big data juga membantu dalam inisiatif untuk menyediakan open data, yang mendukung mekanisme mitigasi dan penanganan pascabencana. Ini menjadi salah satu alat guna membantu para relawan tanggap darurat.

Dengan memberikan informasi geospasial terkini dan akurat, program tanggap darurat dan rekonstruksi pascabencana bisa dilakukan dengan baik. Kompleksitas penanganan bencana alam yang terjadi di Tanah Air, membutuhkan sistem informasi dan ketersediaan peta bencana, berbasis sistem informasi geografis (SIG) serta terintegrasi dengan sistem egovernment pemda.

Terhambatnya arus informasi di daerah bencana bisa menyebabkan data korban simpang siur, informasi kebutuhan pengungsi tidak jelas, tindakan medis terhadap korban terlambat, dan penyaluran bantuan menjadi kalang kabut. Sistem informasi bencana alam harus terpadu dengan sistem e-government pemda dan memenuhi ketentuan International Strategy for Disaster Reduction (ISDR), dengan empat tahapan, yakni tahap tanggap darurat, rekonstruksi dan rehabilitasi, preventif dan mitigasi, dan tahap kesiapsiagaan.

Kepala daerah sebagai penanggung jawab penanganan bencana, mestinya memiliki sistem pendukung pengambilan keputusan alias decision support system (DSS) bencana alam. Dukungan sistem informasi pascabencana alam sangat diperlukan untuk memperlancar identifikasi korban, juga kerugian materi dan infrastruktur. Ini juga bisa menjadi suatu pertimbangan pengambilan keputusan guna langkah merehabilitasi pascagempa.

Untuk mewujudkan Mitigasi 4.0 diperlukan sinkronisasi dengan sistem data kependudukan dan permukiman, seperti jumlah rumah, data infrastruktur, dan kawasan di daerah tersebut. Nantinya, dapat dibuat sistem informasi geografis informasi sebelum dan sesudah bencana, dengan melakukan overlay sehingga dengan tepat dan cepat jumlah kerugian jiwa, materi, dan sarana-prasarana di daerah bencana dapat ditentukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement