Selasa 06 Apr 2021 17:08 WIB

Kapolri Cabut ST Larangan Media Siarkan Kekerasan Polisi

Telegram Kapolri yang memuat larangan media menyiarkan kekerasan polisi tuai kritik.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mencabut surat telegram (ST) terkait soal pelarangan menyiarkan arogansi anggota polisi. Pencabutan ST tersebut tertuang dalam surat telegram bernomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 yang ditandatangani oleh oleh Kadiv Humas Polri Irjen Polisi Argo Yuwono.

"Sehubungan dengan referensi di atas kemudian disampaikan kepada KA bahwa ST Kapolri sebagaimana ref nomor empat di atas dinyatakan dicabut atau dibatalkan," tulis Sigit dalam Surat Telegramnya, Selasa (6/4).

Baca Juga

Lebih lanjut, Sigit juga menyebutkan ST pencabutan ini bersifat Jukrah untuk dilaksanakan dan dipedomani. Surat Telegram bertanggal 6 April 2021 ini ditujukan kepada Kapolda dan Kabidhumas.

Sebelumnya, ST Kapolri terkait pelarangan media menyiarkan arogansi anggota polisi ini menuai kecaman, sekalipun sejatinya ST tersebut hanya untuk internal kepolisian. Namun, banyak pihak yang mengkhawatirkan jika ST tersebut akan berimplikasi pada tugas wartawan. Bahkan, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti meminta agar ST tersebut segera direvisi.

"Meski STR (surat telegram) bersifat internal, tapi dalam STR ini ternyata berdampak pada eksternal, khususnya jurnalis," ujar Poengky saat dikonfirmasi, Selasa (6/4).

Lebih lanjut, Poengky menangkap maksud dari surat telegram tersebut adalah ada poin kedua. Yaitu, untuk menjaga prinsip presumption of innocent, melindungi korban kasus kekerasan seksual, melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan, serta untuk melindungi materi penyidikan agar tidak terganggu dengan potensi trial by the press.

Namun, ada hal yang menjadi pro-kontra, seperti pada poin pertama tentang larangan meliput tindakan kekerasan dan arogansi polisi. Pada poin pertama dalam surat telegram tersebut, disebutkan media dilarang menyiarkan upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas, namun humanis.

"Batasan kepada jurnalis untuk meliput tindakan kekerasan atau arogansi anggota Polri itu yang saya anggap membatasi kebebasan pers, serta akuntabilitas dan transparansi kepada publik," ungkap Poengky.

Sementara, Ikatan Jurnalis UIN (IJU) mengecam keras Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang ingin mengintervensi kegiatan jurnalistik melalui surat telegram bernomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 ter tanggal 5 April 2021. IJU mengkhawatirkan ST Kapolri tersebut menjadi cela untuk melarang wartawan untuk melakukan peliputan di instansi kepolisian.

"Akan jadi senjata pamungkas anggotanya yang bertugas di lapangan untuk melarang wartawan melakukan peliputan dan merekam setiap aksi arogan polisi ketika berhadapan dengan rakyat," ujar Sekjen Ikatan Jurnalis UIN Jakarta, Sholahuddin Al Ayyubi, dalam keterangannya, Selasa (6/4).

Selain itu, kata Yubi, surat telegram tersebut juga menjadi kontraproduktif Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang tengah mengedepankan konsep prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan (Presisi) yang memungkinkan Polri bersikap lebih terbuka dan humanis.

Karena itu, IJU mendesak agar Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo segera mencabut surat telegram dengan nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 ter tanggal 5 April 2021 yang ditandatangani oleh Kadiv Humas Polri Irjen Polisi Argo Yuwono.

"Terutama pada poin ke-1 mengenai larangan media menyiarkan tindakan anggota polisi yang arogan dan melakukan kekerasan kepada rakyat," kata Yubi menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement