Selasa 06 Apr 2021 11:56 WIB

ST Kapolri: Media Dilarang Siarkan Arogansi/Kekerasan Polisi

Surat Telegram Kapolri mengimbau media tayangkan polisi yang tegas, namun humanis.

Kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa penolak UU Cipta Kerja di Jakarta, Rabu (13/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa penolak UU Cipta Kerja di Jakarta, Rabu (13/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Telegram (ST) Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021. ST dengan derajat klasifikasi biasa tersebut dikeluarkan pada Senin (4/4). ST tersebut ditujukan kepada seluruh Kapolda dan Kabid Humas dengan tembusan Kapolri, Wakil Kapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, dan Kapolda.

Listyo mengeluarkan ST dengan mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri, serta Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor: 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran.

"Sehubungan dengan referensi di atas, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas, namun humanis," demikian ST di poin pertama dikutip Republika.co.id, Selasa (6/4).

Dalam ST juga diingatkan agar media tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana, serta tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

"Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan atau fakta pengadilan," begitu isi ST tersebut.

Baca juga : Mutasi di Polri, Komjen Petrus Golose tak Lagi di BNN

Terdapat 11 poin ST yang diteken Kepala Divisi Humas (Kadivhumas) Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono tersebut. Berbeda dengan poin pertama, isi poin berikutnya sangat bisa dipahami, seperti media tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan kejahatan seksual, menyamarkan gambar wajah korban kejahatan seksual, serta tidak menayangkan secara spesifik adegan bunuh diri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement