REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Antara
Komisi III DPR pada Rabu (24/3), menggelar rapat dengar pendapat dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK). Dalam rapat itu, sebagian anggota DPR menyoal langkah PPATK yang membekukan 92 rekening yang terafiliasi dengan Front Pembela Islam (FPI).
"Saya tidak tahu persis apakah ini sebuah kewajiban hukum atau karena ini ikut-ikutan saja karena FPI ini kelompok yang katakanlah secara positioning politiknya berseberangan dengan pemerintah maka kemudian PPATK sebagai bagian dari atau lembaga yang ada dalam rumpun kekuasaan pemerintahan juga ikut merasa perlu ikut ikutan untuk men-disclose banyak hal terkait FPI," kata anggota Komisi III DPR, Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/3).
Menurut Arsul, PPATK harus memahami tugas dan fungsinya sebagai intelijen keuangan yang kerjanya diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Sebagai unit intelijen finansial hasil analisis PPATK mestinya diteruskan kepada penyidik dan pihak berwenang terkait, bukan diumumkan ke publik.
"Di dalam Pasal 47 UU No. 8/2010 memandatkan PPATK membuat dan melaporkan tiap 6 bulan kepada Presiden dan DPR. Namun, tidak disebutkan pelaksanaan tugas tersebut disampaikan kepada publik," ujarnya.
Arsul kemudian membandingkan langkah PPATK pada kasus Jiwasraya dan Asabri. Seharusnya, langkah yang sama juga perlu dilakukan PPATK terkait kasus seperti Jiwasraya, dan Asabri yang dinilai merugikan keuangan negara.
"Saya tidak tahu apakah pada Jiwasraya dan Asabri banyak tersangkut juga dengan yang ada di pemerintahan atau yang pernah ada di pemerintahan atau bahkan yang ada di dunia politik," tuturnya.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman juga mempertanyakan pemblokiran rekening FPI oleh PPATK. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, pasal 2, 3, 4 ,5 dan pasal 44 ayat 1, disebutkan bahwa objek TPPU adalah hasil tindak pidana atau yang diduga sebagai hasil tindak pidana.
"Saya ingin tahu relevansinya apa? Karena informasi yang saya serap itu ada rekening pribadi-pribadi orang, keluarga yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan organisasi itu, tidak ada di akta dan lain sebagainya. Ada menantu, ada anak, dan kalau kita baca undang-undang ormas juga, ormas yang dibekukan bukan berarti dana milik ormas itu otomatis menjadi hasil kejahatan, enggak ada ketentuan itu, sehingga relevansinya apa penyitaan?" ucapnya.
Selain itu, Habiburokhman memandang perlu agar PPATK kemudian membuka blokir tersebut. Menurutnya, rekening-rekening yang dibekukan tersebut menyangkut kebutuhan pribadi orang-orang tersebut.
"Saya pikir bijak kalau memang enggak ada ini sudah berapa bulan ya enggak ada masalah ya dibuka saja, karena itu rekening-rekening pribadi yang menyangkut kebutuhan pribadi orang-orang tersebut. Kasihan sekali sama seperti kita, misalnya dana kita hanya ada di rekening terebut malah dibekukan tentu kesulitan dalam memenuhi kebutuhan," ucapnya.
Kepala PPPATK Dian Ediana Rae menjelaskan alasan kenapa lembaganya menyampaikan langkah pemblokiran 92 rekening yang terafiliasi dengan FPI kepada publik. Menurut dia, langkah tersebut dilakukan untuk mengedukasi dan meluruskan informasi yang sudah beredar luas di media sosial sehingga perlu diluruskan agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi.
"Memblokir rekening terorisme dan tindak kejahatan lain biasa dilakukan namun tidak ada reaksi dari yang diblokir namun ini (kasus 92 rekening FPI) di-blow up di media sosial sehingga menimbulkan kebingungan sehingga kami jelaskan apa yang terjadi," kata Dian Ediana.
Dian mengatakan, PPATK tidak pernah menguraikan terkait substansi dalam kasus tersebut, seperti jumlah uang dan tujuan transfer dari 92 rekening tersebut saat disampaikan kepada publik. Menurutnya, PPATK hanya menyampaikan nomor rekening saja tanpa menyampaikan informasi rinci.
"PPATK tidak sedikit pun menguraikan substansinya, yang kami sampaikan hanya angka rekening, tapi tidak pernah disampaikan terkait berapa jumlah uang, kepada siapa mentransfer," ujarnya.
Menurut dia, PPATK melakukan analisis transaksi keuangan berdasarkan UU nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dian mengatakan, berdasarkan kedua UU tersebut memberikan kewenangan kepada PPATK untuk penangguhan transaksi maksimal 20 hari sehingga saat ini seluruh proses sudah berpindah ke pihak kepolisian untuk menyelidiki lebih lanjut apakah mengandung tindak pidana atau tidak.
"Jadi semenjak itu kami tidak lagi memberikan informasi apa pun bahkan permintaan sangat banyak mengenai status rekening seperti apa," katanya.