Senin 22 Mar 2021 14:26 WIB

Alasan HRS akan Tetap Menolak Sidang Online

HRS tetap tidak akan menerima pelaksanaan sidang secara daring atau online.

Layar menampilkan suasana sidang perdana kasus pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Jakarta, Selasa (16/3/2021). Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU).
Foto:

Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata menyatakan, majelis hakim memiliki kewenangan untuk menentukan sidang dilaksanakan secara virtual. Hal itu telah diatur dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Pidana Secara Elektronik yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung (MA).

"Harus dipahami bahwa hakim adalah pemimpin dalam persidangan. Hakim mempunyai kewenangan penuh dengan mengambil sikap memanggil HRS untuk dihadirkan pada sidang virtual, walaupun hal tersebut juga dibatasi oleh hukum acara atau hukum formil," ujar Mukti dalam siaran persnya, Jumat (19/3).

Sidang virtual adalah sebagai solusi penyelesaian perkara di masa pandemi Covid-19.

"Mungkin hakim mempunyai dasar pertimbangan karena situasi dan kondisi pandemi. Jadi, untuk mencegah kerumunan sehingga mungkin saja itu menjadi alasan. Tetapi yang terpenting bahwa hakim telah menyatakan sidang terbuka untuk umum," ungkap Mukti.

Makna terbuka ini berarti bahwa terbuka di ruang persidangan, atau terbuka secara virtual. Artinya, publik bisa mengakses proses persidangan tersebut.

Terkait penolakan terdakwa HRS untuk hadir dalam sidang virtual karena khawatir terdapat kendala teknis, hal itu juga bagian dari teknis yudisial. Secara hukum formil, maka memungkinkan untuk ditindaklanjuti dengan panggilan kedua, ketiga, atau panggilan paksa, atau in absentia.

"Mengenai prosedur ini bukan menjadi wilayah kewenangan KY. Tetapi sikap menolak hadir dalam persidangan, baik langsung maupun secara virtual, akan menjadi catatan dan terus didalami oleh KY. Yang selanjutnya akan dianalisis lebih lanjut apakah merupakan kategori dari perilaku merendahkan martabat dan kehormatan hakim," tegasnya.

Adapun, pakar hukum Asep Warlan Yusuf menyarankan agar majelis hakim memenuhi tuntutan HRS yang memilih sidang secara tatap muka. HRS selama ini bungkam hingga meninggalkan ruangan saat berlangsung sidang virtual.

Asep mengingatkan, bahwa pengadilan merupakan lembaga pencari keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara. Dalam sisi ini, pengadilan juga wajib menjunjung keadilan bagi terdakwa.

"Pengadilan itu mesti memperjuangkan hak-hak pencari keadilan termasuk terdakwa dan korban. Pengadilan harus independen, imparsial, menggali nilai yang tumbuh di masyarakat," kata Prof Asep pada Republika, Senin (22/3).

Selama proses persidangan kasusnya, HRS menolak mengikutinya karena diadakan secara daring. HRS bersikukuh ingin menjalani sidang tatap muka.

Mengenai hal ini, Asep merasa sudah semestinya pengadilan memenuhi keinginan terdakwa yang ingin mencari keadilan. Dengan begitu maka pengadilan dapat memenuhi prinsip keadilan bagi terdakwa.

"Ketika ada perlakuan dari majelis hakim yang dianggap tidak adil oleh terdakwa, maka hakim harus bertindak bagaimana penuhi hak tadi supaya pengadilan berjalan secara fair tanpa rekayasa, independen dan tanpa intervensi dari siapapun," ujar Asep.

Asep mengingatkan aspek keadilan yang ingin dipenuhi majelis hakim mestinya turut digali dari masyarakat. Selama ini, sebagian masyarakat terutama pendukung dan keluarga HRS justru merasa proses hukum tak adil.

"Inilah (pemenuhan permintaan HRS) yang dicari para pemburu keadilan, bisa dari keluarga, pendukung HRS. Karena yang cari keadilan bukan cuma terdakwa tapi masyarakat juga," ucap Asep.

photo
Pasal yang Menjerat Habib Rizieq - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement