Senin 22 Mar 2021 13:41 WIB

HRS Target Operasi Intelijen Berskala Besar? Ini Opini Refly

Refly menilai, proses hukum terhadap HRS terkesan dipaksakan.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Andri Saubani
Layar yang menampilkan suasana sidang perdana atas kasus pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa mantan Pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (16/3). Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur Suparman Nyompa memutuskan menunda sidang dakwaan akibat terkendala teknis, dan akan dilanjutkan pada Jumat 19 Maret 2021 mendatang. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Layar yang menampilkan suasana sidang perdana atas kasus pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa mantan Pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (16/3). Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur Suparman Nyompa memutuskan menunda sidang dakwaan akibat terkendala teknis, dan akan dilanjutkan pada Jumat 19 Maret 2021 mendatang. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, dalam kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) memang dimungkinkan ada Operasi Intelijen Berskala Besar (OIBB). Berdasarkan analisisnya, operasi itu bisa dikatakan iya dan tidak, mengingat penetapan HRS sebagai terdakwa yang dinilainya dipaksakan.

"Kesan bahwa ia (HRS) ditarget jadi tak terelakkan berdasarkan analisis fakta yang ada," ujar dia mengacu pada eksepsi HRS kepada Republika, Senin (22/3).

Baca Juga

Refly menambahkan, ada banyak pasal-pasal yang ditambahkan pada HRS dan menargetkan untuk menghukumnya dengan menahan serta memenjarakan HRS. Padahal, menilik pada kasus awal berupa pelanggaran prokes, dengan denda Rp 50 juta seharusnya ia nilai sudah cukup.

"Awalnya ‘sepele’ hanya prokes, padahal Presiden Jokowi juga pernah melakukan pelanggaran itu. Tapi HRS seakan ditambah dengan pasal Pidana 160, 216 dan 55,’’ ucapnya.

Penambahan pasal tersebut ia nilai bertolak belakang dengan fakta yang ada. Terlebih, ketika HRS sebelumnya ia sebut bersedia menyatakan komitmen untuk mematuhi prokes dan membatalkan kunjungan ke seluruh tanah air.

"Saya bilang, analisis OIBB iya dan tidak itu karena saya menghormati proses hukum dan peradilan. Semua yang saya sampaikan itu berdasarkan analisis," ungkap dia.

 

Sebelumnya, Tim Advokasi HRS mengeluarkan nota keberatan (eksepsi) pada perkara yang kini disidangkan di PN Jaktim. Dalam draf tersebut, Tim Advokasi menyatakan kekecewaan atas penyalahgunaan sumber daya negara dan hukum untuk kepentingan segelintir elite.

Tim Advokasi HRS menambahkan, dalam perkara HRS yang ada kini, harus ditilik dengan akal sehat. Dengan demikian, yang dialami HRS menurut mereka bisa dilihat sebagai penghakiman dan penghukuman, alih-alih dari peradilan.

"Kriminalisasi HRS dalam perkara a quo tidak lepas merupakan bagian dari Operasi Intelijen Berskala Besar (OIBB) oleh rezim dungu dan pandir," tulisnya dalam draf eksepsi yang diterima Republika dari Munarman.

Dalam operasi intelijen berskala besar itu, menurut Munarman, terdiri dari beberapa aspek. Pertama, adalah operasi black propaganda terhadap HRS dan FPI. Kedua, operasi kontra narasi, lalu operasi pencegahan kepulangan HRS dari Saudi meski akhirnya diakui berhasil pulang.

"Empat, operasi penggalangan tokoh masyarakat dan agama yang menolak keberadaan HRS," jelasnya.

Tak sampai di sana, poin selanjutnya dalam operasi skala besar itu, disebutkan juga mencakup operasi penurunan baliho oleh aparat. Padahal bukan merupakan tupoksinya.

"Lalu operasi konyol mengerahkan komando khusus hanya untuk membunyikan sirine. Kemudian operasi pembantaian pengawal HRS dan operasi surveillance," ungkapnya.

photo
Habib Rizieq telah tiga kali menjadi tersangka sejak kembali ke Indonesia - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement