Senin 22 Mar 2021 14:07 WIB

Pakar: Keinginan HRS Sidang Tatap Muka Mestinya Dipenuhi

Prof Asep menilai pengadilan mestinya memenuhi keinginan terdakwa mencari keadilan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Yudha Manggala P Putra
Habib Rizieq Shihab (tengah).
Foto: EPA-EFE/Bagus Indahono
Habib Rizieq Shihab (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum Prof Asep Warlan Yusuf S.H, M.H menyarankan agar majelis hakim memenuhi keinginan Habib Rizieq Shihab (HRS) yang memilih sidang secara tatap muka. HRS selama ini bungkam hingga meninggalkan ruangan saat berlangsung sidang virtual.

Prof Asep mengingatkan bahwa pengadilan merupakan lembaga pencari keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara. Dalam sisi ini, pengadilan juga wajib menjunjung keadilan bagi terdakwa.

"Pengadilan itu mesti memperjuangkan hak-hak pencari keadilan termasuk terdakwa dan korban. Pengadilan harus independen, imparsial, menggali nilai yang tumbuh di masyarakat," kata Prof Asep pada Republika.co.id, Senin (22/3).

Selama proses persidangan kasusnya, HRS menolak mengikutinya karena diadakan secara daring. HRS berkukuh ingin menjalani sidang tatap muka.

Mengenai hal ini, Prof Asep merasa sudah semestinya pengadilan memenuhi keinginan terdakwa yang ingin mencari keadilan. Dengan begitu maka pengadilan dapat memenuhi prinsip keadilan bagi terdakwa.

"Ketika ada perlakuan dari majelis hakim yang dianggap tidak adil oleh terdakwa, maka hakim harus bertindak bagaimana penuhi hak tadi supaya pengadilan berjalan secara fair tanpa rekayasa, independen, dan tanpa intervensi dari siapapun," ujar Prof Asep.

Prof Asep mengingatkan aspek keadilan yang ingin dipenuhi majelis hakim mestinya turut digali dari masyarakat. Selama ini, sebagian masyarakat terutama pendukung dan keluarga HRS justru merasa proses hukum tak adil.

"Inilah (pemenuhan permintaan HRS) yang dicari para pemburu keadilan, bisa dari keluarga, pendukung HRS. Karena yang cari keadilan bukan cuma terdakwa tapi masyarakat juga," ucap Prof Asep.

Sebelumnya, HRS terjerat tiga kasus sekaligus. Dalam kasus dugaan kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, HRS ditetapkan sebagai tersangka pada 14 November 2020 lalu. HRS diduga melanggar Pasal 160 KUHP.

Kemudian pada bulan Desember 2020, HRS juga ditetapkan sebagai tersangka dugaan kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor.  Dari kedua kasus tersebut, HRS dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.

Selanjutnya kasus terakhir, kasus di RS Ummi Bogor berawal saat HRS dirawat di RS Ummi dan melakukan tes usap pada 27 November 2020. Namun HRS diduga melakukan tes usap bukan dengan pihak rumah sakit, melainkan lembaga lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement