Senin 22 Mar 2021 14:26 WIB

Alasan HRS akan Tetap Menolak Sidang Online

HRS tetap tidak akan menerima pelaksanaan sidang secara daring atau online.

Layar menampilkan suasana sidang perdana kasus pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Jakarta, Selasa (16/3/2021). Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU).
Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
Layar menampilkan suasana sidang perdana kasus pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Jakarta, Selasa (16/3/2021). Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Febrianto Adi Saputro, Dian Fath Risalah

Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab (HRS), Aziz Yanuar, menyatakan, kliennya tetap berpegang teguh pada pendirian untuk terus menolak sidang secara daring (online). Ia menyampaikan, HRS tak akan mau mengikuti sidang online.

Baca Juga

Majelis Hakim menunda persidangan HRS dalam perkara kasus kerumunan untuk mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Keputusan itu diambil karena HRS diam saat ditanyakan apakah akan mengajukan eksepsi atau tidak oleh majelis hakim pada persidangan yang diselenggarakan virtual, Jumat (19/3).

Aziz menyatakan, pihak kuasa hukum dan HRS tak punya persiapan apa-apa untuk agenda sidang lanjutan pada 23 Maret jika tetap diadakan secara daring. HRS, Aziz menambahkan, tetap tak akan menerima pelaksanaan sidang daring.

"HRS dkk tetap akan tolak sidang online dan tidak mengakui sidang online," kata Aziz pada Republika.co.id, Senin (22/3).

Eksepsi yang tak disampaikan HRS dalam sidang daring justru tersebar di media sosial sejak beberapa hari lalu. "Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman, Menegakkan Keadilan" menjadi judul eksepsi HRS. Eksepsi setebal 66 halaman itu banyak mengutip ayat Alquran dan hadis

Aziz mengatakan, tersebarnya eksepsi merupakan upaya perlawanan HRS atas proses hukum yang dijalaninya. HRS menyatakan tak puas karena pengadilan sebagai bagian dari proses mencari keadilan justru jauh dari keadilan.

"Memang itu bentuk tanggapan kami atas dakwaan ngawur, pandir, dan zalim," ujar Aziz.

Diketahui, HRS terjerat tiga kasus sekaligus. Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, HRS ditetapkan sebagai tersangka pada 14 November 2020 lalu. HRS diduga melanggar Pasal 160 KUHP. Kemudian, pada Desember 2020, HRS juga ditetap sebagai tersangka kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor.

Dari kedua kasus tersebut, HRS dijerat dengan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.  

Selanjutnya kasus terakhir, kasus di RS Ummi Bogor berawal saat HRS dirawat di RS Ummi dan melakukan tes usap pada 27 November 2020. Namun, HRS melakukan tes usap bukan dengan pihak rumah sakit, melainkan lembaga Mer-C.

Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi mengomentari soal persidangan HRS yang tetap digelar secara daring. Dia meminta Komisi Yudisial (KY) memberikan atensi pada kasus ini mengingat kasus tersebut telah menjadi perhatian publik.

"Tentunya, KY seharusnya memastikan persidangan berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Aboe dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/3).

Imbauan serupa juga disampaikan Aboe untuk Komnas HAM. Menurutnya, pemaksaan seseorang terdakwa bersidang secara online berpotensi pada pelanggaran HAM.

"Kami mengingatkan kepada semua pihak agar konsisten dengan ketentuan UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karenanya, perlu komitmen dari semua pihak untuk tegak lurus mengikuti prosedur yang ada," ucapnya.

Ia memandang negara seharusnya memperlakukan Rizieq sebagai warga negara sebagaimana umumnya dalam pengadilan. Prinsip persamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law) juga perlu ditegakkan.

"Pemaksaan pemeriksaan seorang tersangka untuk tidak hadir dalam persidangan berpotensi mengurangi hak hak hukum yang seharusnya dimiliki. Apalagi pada kasus lain, seperti kasus Djoko Tjandra sampai dengan Pinangki, semua tersangka bisa leluasa menghadiri persidangan," ungkapnya.

"Tentu ini menjadi preseden tidak baik, ketika seolah-olah terlihat ada diskriminasi. Di mana seorang tersangka ngotot mau bersidang, namun jaksa tidak menghendaki," ujarnya.

 

photo
Habib Rizieq telah tiga kali menjadi tersangka sejak kembali ke Indonesia - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement