REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban memuji langkah vaksinasi Covid-19 yang dilakukan di Inggris. Pemerintah Inggris memilih mengutamakan semua vaksin untuk suntikan pertama agar lebih banyak masyarakat terlindungi.
Vaksinasi Covid-19 yang umum digunakan saat ini perlu dua kali suntikan dengan jeda dua pekan per suntikan. Namun Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengutamakan stok vaksin untuk suntikan pertama ketimbang menjaga stok demi suntikan pertama-kedua.
"Menurut saya, Boris Johnson pintar. Dia coba memperluas persediaan vaksin yang terbatas dengan menunda suntikan kedua hingga 12 minggu. Dasarnya adalah studi yang mendapati penerima vaksin itu akan memiliki kekebalan bagus hanya dengan satu dosis. Ini menjanjikan," kata Prof Zubairi di akun Twitter resminya yang diakses Republika.co.id pada Rabu (24/2).
Prof Zubairi menilai keputusan Boris Johnson bukan dilandasi keputusan asal-asalan. Ia menyimak hasil dua penelitan terpisah yang diterbitkan di Inggris dan Skotlandia.
"Keduanya menunjukkan vaksin Covid-19 yang dibuat Pfizer cenderung efektif dalam mengurangi penularan penyakit dan rawat inap mulai dari dosis pertama," ujar Zubairi.
Zubairi mengungkapkan data penelitian di Inggris mendapati bahwa Pfizer dapat mengurangi risiko tertular Covid-19 hingga 70 persen setelah satu dosis.
"Kemudian, angka itu meningkat menjadi 85 persen setelah dosis kedua," ucap Zubairi.
Pemerintah Inggris mengumumkan pada Ahad (21/2) akan memberi setiap orang dewasa di negara itu dosis pertama vaksin virus corona paling lambat 31 Juli. Rencana itu sebulan lebih awal dari target sebelumnya.
Target baru ini juga menargetkan semua orang yang berusia di atas 50 tahun atau dengan kondisi kesehatan tertentu untuk mendapatkan vaksinasi sebelum 15 April. Lagi-lagi rencanq ini lebih cepat daripada target sebelumnya pada 1 Mei.
Padahal pembuat vaksin yang digunakan Inggris, Pfizer dan AstraZeneca, sama-sama mengalami masalah pasokan di Eropa. Tetapi Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengumumkan target baru tersebut.
"Kami sekarang berpikir bahwa kami memiliki persediaan untuk mempercepat kampanye vaksinasi," kata Hancock dilansir dari AFP pada Ahad (21/2).