REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terdiri dari pengarah dan tim pelaksana. Tim pelaksana dalam melakukan tugasnya dapat dibantu akademisi, praktisi, tenaga ahli, korban atau pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media.
"Dalam pelaksanaan tugasnya tim pelaksana dapat dibantu oleh akademisi, praktisi, tenaga ahli, korban atau pelaku tindak pidana UU ITE, aktivis, dan kelompok media sebagai narasumber untuk mendapatkan berbagai masukan," bunyi poin keempat bagian penetapan di Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021, dikutip Senin (22/2).
Pada poin ketiga di bagian penetapan tersebut terdapat tugas-tugas apa saja yang dimiliki oleh Tim Kajian UU ITE tersebut. Untuk tim pelaksana, terdapat dua sub tim yang memiliki tugas berbeda. Sub tim I atau disebut Tim Perumus Kriteria Penerapan UU ITE bertugas untuk merumuskan kriteria implementatif atas pasal-pasal tertentu dalam UU ITE yang kerap dianggap multitafsir.
Sementara untuk sub tim II alias Tim Telaah Substansi UU ITE bertugas untuk melakukan telaah atas beberapa pasal dalam UU ITE. Pasal-pasal yang ditelaah itu merupakan pasal yang sering dianggap multitafsir. Dari tim ini nantinya akan ditentukan perlu atau tidaknya UU ITE direvisi.
"(Tim Kajian UU ITE) bertugas mulai dar itanggal ditetapkannya Keputusan Menteri Koordinator ini sampai dengan tanggal 22 Mei 2021," bunyi poin kelima pada bagian penetapan Keputusan Menteri Koordinator yang ditandatangani pada 22 Februari itu.
Sebelumnya, pemerintah telah resmi membentuk Tim Kajian UU ITE. Tim itu dibentuk melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 dan akan bekerja selama dua hingga tiga bulan ke depan.
"Tim (ini) untuk membahas substansi apa betul ada pasal karet. Di DPR sendiri ada yang setuju ada yang tidak," ungkap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (22/2).
Da menjelaskan, pembentukan tim tersebut merupakan bentuk terbukanya ruang diskusi oleh pemerintah yang mengandung sistem demokrasi. Menurut Mahfud, dari diskusi yang dilakukan oleh tim itu nantinya pemerintah akan mengambil sikap resmi terhadap UU ITE.
"Kalau keputusannya harus revisi, kita akan sampaikan ke DPR. Karena UU ITE ini ada di Prolegnas tahun 2024 sehingga bisa dilakukan (revisi)," jelas dia.
Mahfud mengatakan, pemerintah memberi waktu selama dua hingga tiga bulan kepada tim tersebut untuk mengkaji UU ITE secara mendalam. Selama menunggu tim mengkaji dan melaporkan ke pemerintah hasil dari kajian tersebut, dia meminta kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk menerapkan UU ITE dengan betul-betul memastikan tidak timbul multitafsir.
"Sembari menunggu yang dua-tiga bulan itu nanti Polri, Kejaksaan Agung penerapannya itu supaya betul-betul tidak multiinterpretasi, tidak multitafsir, tetapi orang merasa adil semua," jelas Mahfud.
Menurut Mahfud, pembentukan Tim Kajian UU ITE itu merupakan salah satu arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menyikapi polemik UU ITE. Selain membentuk tim, presiden juga meminta Kapolri untuk membuat kriteria-kriteria implementatif yang dapat berlaku sama bagi aparat penegak hukum jika persoalan UU ITE hanya ada pada penerapannya.
"Kapolri sudah mem-follow up itu dengan antara lain sudah membuat pengumuman,kalau pelanggaran-pelanggaran itu sifatnya delik aduan, seperti fitnah dan pencemaran nama baik, yang melapor bukan orang lain tetapi yang bersangkutan. Tidak sembarang orang melapor," kata dia.