REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengingatkan akan mondisi pandemi Covid-19 dan dampaknya pada krisis ekonomi, yang diperkirakan bisa semakin memperburuk angka prevalensi stunting di Indonesia. Karena itu, kualitas gizi calon pasangan baru perlu diperhatikan, untuk mencegah keturunan dengan status stunting.
Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo mengungkapkan, merujuk dari data Survei Status Gizi Balita pada tahun 2019 di angka 27,6 persen dan diperkirakan ditahun 2021 ini bisa naik mencapai 32,5 persen. Hasto mengatakan, masa pra nikah, hamil, pasca melahirkan, 1,000 hari pertama kehidupan dan balita, merupakan masa kritis yang berpengaruh pada stunting.
"Penyebab tingginya stunting juga dikarenakan sebagian kelahiran bayi sudah dalam kondisi kekurangan gizi," ungkap Hasto pada audiensi dengan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) secara daring, Rabu (17/2).
Mantan Bupati Kulonprogo ini menjelaskan menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukan, angka bayi dengan berat badan saat lahir kurang, berad di angka 11,7 persen. Dan bayi lahir prematur kurang dari 37 minggu kehamilan masih tinggi di angka 29,5 persen hal ini menjadi sumber utama stunting.
Hal ini, menurut Hasto, bisa terjadi karena Ibu masuk kategori kurang gizi, memiliki anemia serta usia ibu saat hamil masih dibawah 20 tahun juga keterpaparan ibu hamil terhadap asap rokok. Kemudian bayi terlahir sehat menjadi stunting bisa terjadi karena sakit salah satu sebabnya adalah cakupan imunisasi dasar dibawah 60 persen dan karena asupan gizi kurang.
Dia memaparkan, BKKBN membutuhkan masukan bagaimana mengkondisikan status gizi calon pengantin harus baik, mengukur status gizi perempuan 3 bulan sebelum menikah. Kemudian bagaimana memberikan saran nasihat apabila terjadi kurang gizi, seperti disarankan untuk tidak hamil terlebih dahulu, pemerintah juga harus hadir untuk memberikan tambahan gizi.
"Masukan dari ahli gizi mengenai asupan gizi apa saja yang bisa diberikan menjadi penting,” tambah Dokter Hasto.
Selain itu, menurut dia yang pertama diperlukan adalah mediagnosis serta memetakan angka stunting secara mikro dan makro. Secara mikro yakni mengukur seluruh bayi dibawah dua tahun (baduta), kenapa baduta karena masih bisa di treatment supaya tidak stunting.
Dia menyebut, bayi dengan usia di bawah dua tahun bisa diukur, yakni mencatat by name by address untuk menentukan diagnosis klinisnya kasus per kasus. Namun ada pertanyaannya, apakah itu bisa dilakukan.
Menurut Hasto, apabila hal tersebut tidak bisa dilakukan maka dengan data survei per kabupaten (regional). Kalau ini dilakukan maka kebijakan yang diambil adalah secara makro yakni semua baduta tidak kasus per kasus di treatment semua, tentunya hal ini memerlukan biaya yang besar.
"Maka dalam forum ini kami berharap tidak lagi berdiskusi panjang, namun bisa bersikap menentukan hal apa yang bisa dilakukan,” tegas dia.