Senin 08 Feb 2021 15:26 WIB

Indikator: 63,2 Persen Dukung Pilkada tak Serentak pada 2024

63,2 persen responden menghendaki pilpres dan pileg dipisah waktunya dengan pilkada.

Rep: Nawir Arsyad Akbar, Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
Direktur Eksekutif Indikator Poitik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyampaikan pidato bertema “Tingkat Elektabilitas Capres dan Pengaruh Hasil Pilpres BAgi Dunis Usaha” pada acara Infobank 3th 100 Fastest Growing Companies Award di Jakarta, Kamis (31/1).
Foto: Darmawan / Republika
Direktur Eksekutif Indikator Poitik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyampaikan pidato bertema “Tingkat Elektabilitas Capres dan Pengaruh Hasil Pilpres BAgi Dunis Usaha” pada acara Infobank 3th 100 Fastest Growing Companies Award di Jakarta, Kamis (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - Indikator Politik Indonesia merilis hasil surveinya yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mendukung agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) tak digelar serentak dengan pemilihan presiden dan legislatif pada 2024. Dari 1.200 responden, sebanyak 63,2 persen mendukung hal tersebut.

"Warga umumnya 63,2 persen menghendaki agar pemilihan presiden dan anggota legislatif dipisah waktunya dengan Pilkada," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei secara daring bertemakan 'Aspirasi Publik terkait UU Pemilu dan Pilkada', Senin (8/2).

Baca Juga

Adapun 28,9 persen dari 1.200 responden mendukung agar Pilkada digelar serentak bersama Pilpres dan Pileg pada 2024. Sedangkan 7,9 persen sisanya tidak tahu atau tidak menjawab.

Mayoritas responden sebesar 68,4 persen menilai bahwa keserentakan pada Pemilu 2019 membuat beban kerja para penyelenggara menjadi sangat berat. Dari 68,4 persen tersebut, sebanyak 59,9 persen mengatakan bahwa korban jiwa tak bisa dimaklumi atau diterima.

"Dari mereka yang tak menerima tersebut, 71,8 persen menginginkan agar penyartuan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden dihindari," ujar Burhanuddin.

Sedangkan lebih dari 50 persen responden mendukung agar Pilkada digelar pada 2022 dan 2023. Selain beban berat dari penyelenggara pemilu, Pilkada pada 2024 akan memunculkan pelaksana tugas (Plt) yang dinilai tak memiliki tanggung jawab langsung ke masyarakat.

"Pemilih nasional umumnya 54,8 persen ingin ada Pilkada 2022 untuk daerah yang kepala daerah yang berakhir masa tugasnya pada tahun tersebut. Serangkaian dengan 2023, yaitu sebesar 53,7 persen," ujar Burhanuddin.

Indikator Politik Indonesia melakukan survei ini pada 1 hingga Februari 2021 dengan 1.200 responden dengan metode simple random samping. Dengan toleransi kesalahan atau margin of error sebesar kurang lebih 2,9 persen.

Sampel responden berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional, dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Dengan situasi pandemi Covid-19, Indikator Politik Indonesia melaksanakan survei dengan kontak telepon kepada responden.

Sebelumnya, Index Politica juga merilis hasil survei terbaru terkait persepsi masyarakat terhadap isu politik dan ekonomi Indonesia. Sebanyak 53,4 persen responden tak setuju Pilkada digelar bersamaan dengan Pileg dan Pilpres. Sementara itu 13,4 responden sangat tidak setuju Pilkada digelar bersamaan dengan Pileg dan Pilpres.

"66,8 persen tidak setuju kalau Pilkada serentak dibarengkan dengan Pilpres dan Pileg," kata Direktur Eksekutif Denny Charter, Ahad (7/2).

Sementara itu hanya 14,1 persen masyarakat setuju Pilkada serentak di 2024. Responden yang sangat setuju 1,3 persen dan setuju 12.8 persen.

Kemudian sebanyak 40,7 persen responden setuju Pilkada dilakukan serentak secara nasional. Kemudian 35,3 persen responden tidak setuju Pilkada dilakukan serentak secara nasional.

Untuk diketahui survei Index Politica Indonesia dilakukan pada 18 - 28 Januari 2021 terhadap 1610 responden. Survei dilakukan di 34 provinsi dengan wawancara tatap muka.

Pengambilan sampel menggunakan metode multistage random sampling. Margin of error kurang lebih 1,6 persen pada tingkat kepercayaan 95,0 persen.

Seperti diketahui, mayoritas fraksi di DPR menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan begitu maka Pilkada serentak 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan pada 2024 sesuai dengan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Tercatat, fraksi-fraksi yang awalnya mendukung revisi UU Pemilu adalah PKS, Partai Demokrat, Partai Nasdem, dan Partai Golkar. Belakangan, Partai Golkar dan Partai Nasdem akhirnya sepakat menolak revisi UU Pemilu.

photo
Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement