Ahad 07 Feb 2021 16:28 WIB

Siti Zuhro: Pemilu Borongan pada 2024 Harus Dihindari

Pemerintah dan DPR RI diminta berkaca pada penyelenggaraan Pemilu 2019.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro.
Foto: Republika/Mimi Kartika
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro merekomendasikan agar pemilihan umum (pemilu) serentak nasional dan daerah (pemilihan kepala daerah) pada 2024 dihindari. Ia meminta pemerintah dan DPR RI berkaca pada penyelenggaraan Pemilu 2019.

"Saya merekomendasikan pemilu borongan 2024 harus dihindari," uja Siti Zuhro dalam diskusi daring Pemilu dan Pilkada Borongan 2024: Realistiskah? pada Ahad (7/2).

Baca Juga

Pada pemilu 2019, penyelenggara melaksanakan lima pemilihan sekaligus, yakni pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg) anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Bukan efisiensi anggaran yang didapat, justru pelaksanaan pemilihan lima kotak itu menghabiskan biaya lebih besar.

Tidak hanya ongkosnya yang besar, tetapi Indonesia juga kehilangan ratusan petugas penyelenggara ad hoc. Mereka diduga wafat karena kelelahan menjalankan tahapan dari lima pemilihan sekaligus di pemilu 2019.

"Pemilu dan pilkada tak seharusnya disatukan menjadi pemilu borongan 2024. Yang lalu sudah borongan lima kotak, jangan ditambah lagi dengan dua kotak, lima kotak saja sudah luar biasa ampun-ampun," kata Siti Zuhro.

Ia menuturkan, selama ini pun proses demokrasi melalui pemilihan presiden maupun kepala daerah hanya prosedural. Pemilu dan pilkada yang substantif dan berkualitas sekurang-kurangnya direfleksikan dengan terpilihnya pemimpin yang jujur, kompeten, amanah, transparan/komunikatif, dan bijaksana.

Pelaksanaan demokrasi melalui pemilu dan pilkada juga perlu dibenahi secara substantif khususnya terkait perilaku distortif atau menyimpang/melanggar yang dilakukan para peserta pilkada dan pemilu. Siti Zuhro berharap, pemilu dan pilkada bisa meningkatkan kesadaran politik masyarakat, khususnya dalam konteks partisipasi dan kontestasi untuk memilih pemimpin yang amanah dan kompeten.

Di sisi lain, menurut dia, penataan partai politik lah yang utama perlu dibenahi melalui reformasi partai politik. Sebab, kata dia, jantung demokrasi adalah partai politik, yang kadernya akan maju menjadi calon presiden dan wakil presiden, pemimpin kepala daerah, dan anggota dewan legislatif.

Siti mengusulkan, pilkada dilaksanakan sesuai dengan jadwal yaitu 2022 yang akan digelar di 101 daerah dan 2023 yang akan diselenggarakan di 170 daerah. Ia juga meminta pertimbangan agar daerah yang melaksanakan 2023 disatukan ke pilkada 2022, sehingga totalnya menjadi 271 daerah.

Siti Zuhro pun merekomendasikan agar pilpres nanti menerapkan ambang batas presiden nol atau angka yang kecil. Di mana partai politik yang lolos duduk di DPR dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden, sehingga kompetisi yang diikuti hanya dua pasangan calon bisa dihindari.

"Jadi jangan langsung diblok dua pasangan calon, itu tidak bagus, kita sudah dua kali melakukan itu, apa yang terjadi? Keterbelahan masyarakat, ditambah dengan kesenjangan sosial ekonomi yang membahayakan NKRI ke depan," jelas Siti Zuhro.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement