REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza menyambut baik rencana pemerintah mengatur pemain bisnis model over the top (OTT) global dengan diwajibkan melakukan kerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi di Indonesia.
"Ini sebenarnya yang kami nantikan selama ini. Alhamdulillah pemerintah mendengarkan aspirasi seluruh anggota APJII. Seluruh anggota APJII akan mendukung dan mengawal peraturan yang dibuat oleh pemerintah tersebut secara konsisten. Saya bisa pastikan seluruh anggota APJII kompak menyikapi ini," ujar Jamalul melalui keterangan di Jakarta, Sabtu (30/1).
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar) versi terbaru mewajibkan seluruh pelaku usaha di Indonesia dan/atau pelaku usaha asing atau yang kerap disebut perusahaan penyedia layanan OTT global, untuk melakukan kerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi di Indonesia. Kerja sama itu berdasarkan prinsip adil, wajar, dan nondiskriminatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
OTT adalah layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet. Jamalul menuturkan, selama ini yang menggelar jaringan dan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia adalah anggota APJII dengan belanja modal yang mahal dan pengembalian yang besar.
Namun kenyataannya yang menikmati dan mendapatkan benefit terbesar adalah perusahaan OTT global, sedangkan kontribusi perusahaan OTT global terhadap perekonomian nasional terbilang nihil. Perusahaan OTT global yang beroperasi di Indonesia juga tidak membayar pajak PPh atau pajak transaksi, maupun nonpajak.
Padahal, ia menjelaskan, untuk menggelar telekomunikasi di Indonesia, anggota APJII membayar PPn, PPh dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya seperti biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi (BHP) jasa telekomunikasi serta membayar kontribusi kewajiban universal service obligation (USO). Menurut Jamal, kewajiban OTT global untuk bekerja sama dengan penyelenggara jaringan atau jasa telekomunikasi tersebut wujud dari keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan yang ada di Indonesia.
"Saat ini, mereka yang sangat menikmati infrastruktur telekomunikasi yang dibangun di Indonesia. Kita anggota APJII nyaris tidak ada benefit yang diberikan dari kehadiran mereka di Indonesia. Jadi, wajar jika pemerintah mewajibkan OTT global tersebut untuk bekerja sama dengan penyelenggara jaringan atau jasa telekomunikasi yang ada di Indonesia," kata Jamalul.
Agar regulasi ini tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, Jamalul meminta agar pemerintah dapat segera menurunkan peraturan menteri tentang tata cara pelaksanaan kerja sama antara penyelenggara jaringan dan jasa dengan OTT global. Menurut Jamalul, peraturan tersebut mutlak dibutuhkan agar kerja sama antara OTT global dengan penyelenggara jaringan dan jasa bisa konkrit.
"Anggota kita kan ada yang korporasi besar dan ada yang UMKM. Jangan sampai OTT global ini merangkul anggota kami yang UMKM hanya untuk mendapatkan surat pernyataan sudah bekerjasama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi. Kami tidak menginginkan itu," ujar Jamalul.
APJII menginginkan di dalam peraturan menteri nantinya kerja samanya jelas sehingga memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional dan anggota APJII. Adapun kerja sama yang konkrit yang diinginkan APJII terkait sewa jaringan, membeli kapasitas atau bandwidth, sewa data center dari penyelenggara jaringan atau penyelenggara jasa telekomunikasi di Indonesia.