REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Dessy Suciati Saputri
Indonesia diganjar masuk dalam peringkat terakhir kinerja penanganan Covid-19, menurut data terbaru yang dirilis oleh Lowy Institute. Lowy Institute mengukur kinerja 98 negara di dunia dengan menggunakan beberapa indikator dimulai dari 36 minggu setelah kasus Covid-19 terkonfirmasi keseratus di setiap negara, dan data yang tersedia hingga 9 Januari 2021.
Beberapa indikator yang dipantau adalah kasus terkonfirmasi, kematian, kasus terkonfirmasi per juta orang, kasus kematian per juta orang, kasus yang dikonfirmasi sebagai proporsi tes, dan jumlah tes per seribu orang. Rata-rata di seluruh indikator kemudian dihitung untuk masing-masing negara di setiap periode dan dinormalisasi untuk menghasilkan skor dari 0 (kinerja terburuk) hingga 100 (kinerja terbaik).
Hasilnya, negara dengan penanganan Covid-19 terbaik adalah Selandia Baru dengan skor 94,4, kedua adalah Vietnam dengan skor 90,8. Sedangkan Indonesia mendapat peringkat 85 dengan skor 24,7. Dalam data ini, Indonesia merupakan yang terburuk di Asia Tenggara. Bahkan skornya beda tipis dengan India yang memiliki 1 miliar penduduk.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, tidak heran mengetahui Indonesia menjadi yang terburuk dalam penanganan pandemi di Asia Tenggara. Dari beberapa indikator seperti geografi, politik (kebijakan), demografi dan ekonomi, Indonesia merupakan negara yang paling rumit.
Geografi Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan, penduduk yang besar serta ekonomi yang bergantung dari sektor perdagangan, membuat pandemi menjadi tantangan yang sangat besar. "Pemerintah harus mengambil langkah-langkah besar, tidak lagi setengah-setengah dalam penanganan Covid. Tentukan prioritas: kesehatan atau ekonomi," ujar Hermawan, Jumat (29/1).
Ia menuturkan bahwa Indonesia dapat mencontoh negara-negara tetangga dalam penanganan Covid-19. Vietnam, Thailand dan Singapura merupakan negara-negara yang sigap dan tegas dalam penanganan Covid-19, dalam segi testing, tracing dan treatment (3T). Indonesia juga dapat mencontoh negara-negara Asia Timur yang menerapkan optimum social restriction, dengan melakukan lockdown nasional.
Bahkan kini negara-negara Eropa yang pada awal pandemi babak belur, sekarang sudah bisa mengendalikan karena menerapkan sistem lockdown nasional. Negara-negara besar seperti AS dan Brasil juga patut dicontoh dalam segi 3T-nya. Meskipun AS mencatat puluhan juta kasus terkonfirmasi, tapi negara tersebut memiliki sistem testing yang bagus, sehingga fatality rate-nya berada di bawah Indonesia.
"Opsinya adalah PSBB nasional dan memutus mata rantai Covid. Vaksin bukanlah solusi utama," kata Hermawan.
Namun, ia menyayangkan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya menerapkan lockdown nasional. Apalagi sejak awal PSBB merupakan bentuk intervensi longgar, yang saat ini hanya dilakukan di tiga provinsi dan 48 kabupaten/kota. Padahal jika dibandingkan dengan jumlah 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi, jumlah yang menerapkan lockdown tersebut tentunya sangat tidak cukup untuk mengantisipasi penyebaran virus corona.
"Negara kita sudah memilih PSBB, tapi political will kita lemah, makanya yang menerapkan hanya sedikit. Ini yang pada akhirnya membuat kita semua terkatung- katung dalam penyelesaian Covid-19 saat ini," ujar Hermawan.
Sementara menurut Epidemiolog dari Universitas Indonesia, dr. Pandu Riono, masuknya Indonesia ke daftar bawah negara yang mampu menangani pandemi menunjukkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 atau Satgas Covid-19 Indonesia berkinerja buruk. Ia menyarankan, Satgas dibubarkan.
"Semuanya perlu dibenahi, itu bukti bahwa Satgas gagal, bubarkan saja. Tangani oleh Kementerian Kesehatan dan Presiden harus turun tangan," ujar Pandu, kepada Republika.
Menurut Pandu ini membuktikan bahwa kepemimpinan dalam penanganan pandemi di Indonesia sangatlah buruk. Merujuk pada negara-negara yang telah berhasil menangani pandemi, mereka dipimpin langsung oleh perdana menteri ataupun kepala negara.
Sementara itu Pemerintah Indonesia dinilai tidak bisa memilih prioritas dalam penanganan pandemi, dan masih sulit memilih antara kesehatan dan ekonomi. Hal ini yang menyebabkan menteri yang bukan Menteri Kesehatan turut ikut campur dalam penanganan pandemi. Pandu merujuk pada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan yang dinilai tidak tepat ikut menangani Covid-19.
Padahal, jika Pemerintah memprioritaskan untuk menangani pandemi secara menyeluruh hingga selesai, ekonomi juga akan bisa terselamatkan. Selain itu, ia juga menuding Pemerintah telah melakukan pembohongan publik dengan terus menerus menekankan tingkat kesembuhan, yang secara internasional, variabel tersebut tidak diperhitungkan.
"Itu dipakai secara sengaja oleh Pemerintah untuk membohongi publik. Tidak penting itu, kalau kita lihat kematiannya itu meningkat banyak. Itu pembohongan publik," kata Pandu.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga perlu dibenahi. Saat ini Kementerian Kesehatan masih belum memiliki data valid jumlah tenaga kesehatan dan database penduduk. Ini tentunya menambah kekacauan dalam pelayanan kesehatan dan pelaksanaan vaksinasi.
"Kita tidak bisa mengandalkan vaksin, karena virus ini terus bermutasi. Jadi vaksin yang terbaik bukan Moderna, Sinovac, atau Pfizer, tapi kepemimpinan dalam mengatasi pandemi ini," kata Pandu.