Ahad 24 Jan 2021 05:32 WIB

Kasus FPI ke ICC, Ini Alasan Pesimisme Pakar dan Komnas HAM

Pelaporan kasus laskar FPI ke Pengadilan Internasional dinilai tidak akan diterima.

Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu telah selesai diautopsi dan telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara juga menilai,  tidak tepat bila kasus kematian enam laskar FPI pada 7 Desember 2020 dilaporkan ke Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag, Belanda. Karena, kata Beka, ICC tidak akan menerima satu perkara jika perkara tersebut sedang diinvestigasi atau dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk menanganinya.

"Kecuali negara tersebut memang unwilling (tidak mau) atau unable (tidak mampu) investigasi atau penuntutan, " kata Beka dalam keterangannya, Kamis (22/1).

Ia pun menerangkan, bahwa Pengadilan Pidana Internasional atau ICC adalah peradilan independen yang memiliki yurisdiksi terhadap orang yang diduga melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam negara pihak Statuta Roma 2002.

"Negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma juga bisa jadi juridiksi ICC kalau negara tersebut membuat deklarasi menerima ICC untuk perkara terkait," jelasnya.

Untuk status Indonesia pun, hingga kini belum meratifikasi Statuta Roma. Sehingga, tidak bisa satu kejahatan seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di wilayah Indonesia bisa dibawa ke ICC .

Lebih lanjut, Beka menerangkan, ada dua mekanisme hak asasi manusia  yang saat ini digunakan dan berjalan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pertama adalah Charter Based Mechanism, yakni pembahasan isu HAM yang didasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan juga Deklarasi Wina. Sementara yang kedua yakni Treaty Based Mechanism atau mekanisme pembahasan perkembangan instrumen HAM negara anggota yang didasarkan pada konvensi-konvensi HAM PBB yang sudah diratifikasi oleh negara anggota.

Saat ini, Indonesia sudah meratifikasi delapan instrumen pokok dan dua instrumen tambahan HAM PBB. Karena, sudah meratifikasi maka ada kewajiban negara untuk melaporkan pelaksanaan dan perkembangannya.

"Misal 2012 bikin laporan CEDAW, Tahun 2017 bikin laporan soal kondisi pekerja migran," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement