Sabtu 23 Jan 2021 00:02 WIB

Kasus FPI Dibawa ke Den Haag, Ini Respons Komnas HAM

Indonesia hingga kini belum meratifikasi Statuta Roma.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara.
Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyebut tidak tepat bila kasus kematian enam laskar FPI pada 7 Desember 2020 dilaporkan ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Karena, kata Beka, ICC tidak akan menerima satu perkara jika perkara tersebut sedang diinvestigasi atau dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk menanganinya.

"Kecuali negara tersebut memang unwilling (tidak mau) atau unable (tidak mampu) investigasi atau penuntutan, " kata Beka dalam keterangannya, Kamis (22/1).

Baca Juga

Ia pun menerangkan, bahwa Pengadilan Pidana Internasional atau ICC adalah peradilan independen yang memiliki yurisdiksi terhadap orang yang diduga melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC memiliki juridiksi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam negara pihak Statuta Roma 2002.

"Negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma juga bisa jadi juridiksi ICC kalau negara tersebut membuat deklarasi menerima ICC untuk perkara terkait," jelasnya.

Untuk status Indonesia pun, hingga kini belum meratifikasi Statuta Roma. Sehingga, tidak bisa satu kejahatan seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di wilayah Indonesia bisa dibawa ke ICC .

Lebih lanjut, Beka menerangkan, ada dua mekanisme hak asasi manusia  yang saat ini digunakan dan berjalan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pertama adalah Charter Based Mechanism, yakni pembahasan isu HAM yang didasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan juga Deklarasi Wina. Sementara yang kedua yakni Treaty Based Mechanism atau mekanisme pembahasan perkembangan instrumen HAM negara anggota yang didasarkan pada konvensi-konvensi HAM PBB yang sudah diratifikasi oleh negara anggota.

Saat ini, Indonesia sudah meratifikasi delapan instrumen pokok dan dua instrumen tambahan HAM PBB. Karena, sudah meratifikasi maka ada kewajiban negara untuk melaporkan pelaksanaan dan perkembangannya.

"Misal 2012 bikin laporan CEDAW, Tahun 2017 bikin laporan soal kondisi pekerja migran," terangnya.

Sebelumnya, Tim Advokasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) melaporkan tragedi Jakarta 21-22 Mei 2019, dan peristiwa pembunuhan 7 Desember 2020 di Tol Japek Km 50 ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Pelaporan itu dilakukan, karena menilai dua kejadian tersebut sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat resmi negara.

Salah satu anggota Tim Advokasi Korban, Munarman mengatakan, pelaporan tersebut, resmi dilayangkan pada 16 Januari 2021. Munarman mengirimkan bukti pelaporan tersebut, pada Selasa (19/1) malam, dengan menyampaikan gambar tangkapan layar aduan yang dikirimkan kepada Juru Bicara, dan Kepala Departemen Luar Negeri ICC Fadi El-Abdallah.

“Ini bukti pelaporan Tim Advokasi Korban Pelanggaran HAM berat, tragedi 21-22 Mei 2019, dan pembantaian 7 Desember oleh aparat negara ke ICC,” kata Munarman lewat pesannya kepada Republika, Selasa (19/1) malam.

Munarman adalah Sekretaris Umum DPP Front Pembela Islam (FPI). Dalam pelaporan tersebut, kata dia, Tim Advokasi Korban melampirkan dokumen-dokumen dan fakta-fakta kejadian terkait dua peristiwa yang menewaskan total 16 nyawa sipil di tangan kepolisian tersebut.

Dalam laporan berbahasa Inggris tersebut, Tim Advokasi menilai terjadinya praktik pembiaran tanpa hukuman yang dilakukan pemerintah Indonesia atas dua peristiwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyatnya sendiri. Pembiaran tersebut berupa ketidakmampuan, dan keengganan pemerintah Indonesia memastikan penegakan hukum yang adil terhadap pelaku-pelaku pembunuhan dalam peristiwa 21-22 Mei, dan 7 Desember

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement