Jumat 22 Jan 2021 16:16 WIB

'Laporkan Kematian Laskar FPI ke ICC Den Haag, Kurang Tepat'

Ada tiga opsi yang bisa dijadikan solusi penyelesian dalam kasus tersebut.

Rep: Mabruroh/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah anggota tim penyidik Bareskrim Polri memperagakan adegan saat rekonstruksi kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/12/2020) dini hari. Rekonstruksi tersebut memperagakan 58 adegan kasus penembakan enam anggota laskar FPI di tol Jakarta - Cikampek KM 50 pada Senin (7/12/2020) di empat titik kejadian perkara.
Foto: ANTARA/M Ibnu Chazar
Sejumlah anggota tim penyidik Bareskrim Polri memperagakan adegan saat rekonstruksi kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/12/2020) dini hari. Rekonstruksi tersebut memperagakan 58 adegan kasus penembakan enam anggota laskar FPI di tol Jakarta - Cikampek KM 50 pada Senin (7/12/2020) di empat titik kejadian perkara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hubungan Internasional Arya Sandiyudha menilai, akan sulit membawa kasus kematian enam laskar FPI atau tragedi pembantaian 7 Desember 2020 ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Dia pun menawarkan tiga opsi dalam kasus tersebut. 

"Kalau secara perspektif kami, ini pelaporan yang kurang tepat. Sebab ICC Den Haag mesti jadi state party Rome Statute 1998 dulu. Kecuali, ada inisiatif Prosecutor ICC atau inisiatif UN Security Council, dan itu hampir nggak mungkin," kata Arya saat dihubungi, Jumat (22/1).

Arya memandang, perlunya mempertimbangkan atau mengkaji kembali apakah sebuah konvensi internasional sudah diratifikasi di Indonesia. Ratifikasi adalah mengadopsi kesepakatan hukum internasional ke dalam sistem regulasi hukum negara kita.

Sebagai contoh, kata Arya, ada tiga yang terkait dengan HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia.

Pertama, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Pemerintah RI melalui UU No. 12 tahun 2005. Terkait dengan ini, seseorang dapat melakukan pelaporan melalui UN Human Rights Committee atas pelanggaran terhadap hak hidup (right to live) dan hak untuk bebas dari penyiksaan (freedom from torture).

"Jadi sifatnya perlindungan. Karena itu tercantum dalam Covenant on Civil and Political Rights yang oleh Indonesia diratifikasi melalui UU No 12 tahun 2005," kata Arya yang merupakan penerima Certificate in Terrorism Studies (CTS) dari International Center for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR) Singapura.

Kedua, Convention Against Torture yang telah dirafitikasi pemerintah RI melalui UU no. 5 tahun 1998. Konvensi ini menentang terjadinya penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat kemanusiaan, sehingga dapat melakukan pelaporan atas kejahatan tersebut melalui UN Committee Against Torture. 

Ketiga, mekanisme Universal Periodical Review (UPR). Sebuah evaluasi HAM yang dilakukan secara berkala yang ada di Dewan HAM PBB. UPR kali ini di mana sesi untuk negara Indonesia sebagai state under review adalah pada May 2022.

 

Meski demikian, menurut Arya, sebaiknya kita sebisa mungkin menghindari pola internasionalisasi karena berpotensi jadi preseden buruk dalam momentum dan isu lain. "Lebih baik persoalan semacam ini selesai di level domestik," tegasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement