Ahad 24 Jan 2021 05:32 WIB

Kasus FPI ke ICC, Ini Alasan Pesimisme Pakar dan Komnas HAM

Pelaporan kasus laskar FPI ke Pengadilan Internasional dinilai tidak akan diterima.

Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu telah selesai diautopsi dan telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Senada dengan Hikmahanto, pengamat Hubungan Internasional, Arya Sandhiyudha menilai, akan sulit untuk membawa kasus kematian enam laskar FPI ke ICC di Den Haag, Belanda.  

"Kalau secara perspektif kami, ini pelaporan yang kurang tepat, sebab ICC Den Haag mesti jadi state party Rome Statute 1998 dulu, kecuali ada inisiatif Prosecutor ICC atau inisiatif UN Security Council, dan itu hampir enggak mungkin," kata Arya saat dihubungi, Jumat (22/1).

Arya memandang, perlunya mempertimbangkan atau mengkaji kembali apakah sebuah konvensi internasional sudah diratifikasi di Indonesia. Ratifikasi adalah mengadopsi kesepakatan hukum internasional ke dalam sistem regulasi hukum negara kita.

Sebagai contoh, kata Arya, ada tiga yang terkait dengan HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Pertama, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Pemerintah RI melalui UU No. 12 tahun 2005. Terkait dengan ini, seseorang dapat melakukan pelaporan melalui UN Human Rights Committee atas pelanggaran terhadap hak hidup (right to live) dan hak untuk bebas dari penyiksaan (freedom from torture).

"Jadi sifatnya perlindungan. Karena itu tercantum dalam Covenant on Civil and Political Rights yang oleh Indonesia diratifikasi melalui UU No 12 tahun 2005," kata Arya yang merupakan penerima Certificate in Terrorism Studies (CTS) dari International Center for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR) Singapura.

Kedua, Convention Against Torture yang telah dirafitikasi pemerintah RI melalui UU no. 5 tahun 1998. Konvensi ini menentang terjadinya penyiksaan dan tindakan merendahkan martabat kemanusiaan, sehingga dapat melakukan pelaporan atas kejahatan tersebut melalui UN Committee Against Torture.

Ketiga, mekanisme Universal Periodical Review (UPR). Sebuah evaluasi HAM yang dilakukan secara berkala yang ada di Dewan HAM PBB. UPR kali ini di mana sesi untuk negara Indonesia sebagai state under review adalah pada May 2022.

Menurut Arya, sebaiknya Indonesia sebisa mungkin menghindari pola internasionalisasi kasus. Karena, menurutnya langkah internasionalisasi kasus berpotensi jadi preseden buruk dalam momentum dan isu lain.

"Lebih baik persoalan semacam ini selesai di level domestik," tegasnya.

In Picture: Jenazah Laskar FPI Meninggalkan RS Polri Kramat Jati

photo
Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu telah selesai diautopsi dan telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement