Jumat 22 Jan 2021 19:32 WIB

MA Sebut Hanya 8 Persen PK Koruptor yang Dikabulkan

MA menepis anggapan PK menjadi modus koruptor agar hukumannya berkurang.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Andi Samsan Nganro
Foto:

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan demi putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) sudah terang benderang telah meruntuhkan sekaligus mengubur rasa keadilan masyarakat sebagai pihak paling terdampak praktik korupsi.

Menurut ICW, setidaknya ada dua implikasi serius yang timbul akibat putusan korting PK. Pertama, pemberian efek jera akan semakin menjauh.  "Kedua, kinerja penegak hukum, dalam hal ini KPK, akan menjadi sia-sia saja, " kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. 

Untuk itu, lanjut Kurnia, ICW menuntut agar Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin  mengevaluasi penempatan hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi. Sementara KPK, sambung Kurnia, juga harus mengawasi persidangan-persidangan PK di masa mendatang.

"Komisi Yudisial juga diharapkan untuk turut aktif terlibat melihat potensi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim yang menyidangkan PK perkara korupsi, " ujar Kurnia. 

Kurnia menambahkan, tren vonis ICW tahun 2019 menunjukkan bahwa rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Oleh karenanya, sejak awal ICW  sudah meragukan keberpihakan MA dalam pemberantasan korupsi. 

"Jadi, bagaimana Indonesia bisa bebas dari korupsi jika lembaga kekuasaan kehakiman saja masih menghukum ringan para koruptor?," ucap Kurnia. 

Sepanjang 2019-2020 sudah 23 perkara yang mendapatkan pengurangan hukuman atas pengabulan PK di tingkat MA. Saat ini setidaknya masih ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para narapidana kasus korupsi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement