REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menyebut hanya 8 persen permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana korupsi yang dikabulkan Majelis Hakim PK. Wakil Ketua MA bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro menepis anggapan, PK menjadi modus koruptor agar hukumannya berkurang.
"Menurut data yang ada, hanya 8 persen yang memang dikabulkan, jadi masih ada 92 persen yang ditolak," ujar Andi dalam diskusi daring, Kamis (22/1).
Andi menegaskan, dalam memutuskan suatu perkara Majelis Hakim tidak dapat diintervensi oleh siapapun, bahkan oleh Ketua MA. Oleh karenanya, maraknya pemotongan masa hukuman terpidana korupsi melalui putusan PK tak dapat disimpulkan sebagai pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Ia terus menegaskan bahwa lembaganya mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Bahkan, sebagai lembaga peradilan, tugas MA tidak sekadar menegakkan hukum dengan memberikan efek jera tetapi juga menegakkan keadilan, termasuk keadilan bagi terpidana kasus korupsi.
"Kami mempertimbangkan semua, kami sinergikan semua kemudian melahirkan sebuah putusan berdasarkan ya kami akan pertimbangkan juga, kami tidak gegabah begitu, kami juga pertimbangan pada hati nurani, apakah ini sudah adil, apakah ini sudah tepat," terangnya.
Andi pun mengungkapkan tiga alasan mendasar dikabulkannya PK. Pertama adalah alasan disparitas pemidanaan.
"Disparitas pemidanaan ini, ini yang kami amati, ini fakta menunjukkan bahwa ada sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang, namun di dalam persidangannya itu mulai dari awal karena itu adalah kewenangan penuntut umum untuk di dalam berkas perkara itu diajukan ke Pengadilan, apakah diajukan secara berbarengan atau dipisah-pisah, di split. Artinya beberapa berkas," ujar Andi .
MA, kata Andi, beberapa kali menemukan adanya disparitas. Ia pun mencontohkan salah satunya terkait hukuman seorang terpidana yang dipukul rata dengan terpidana lainnya. Padahal dalam perkara itu terpidana tersebut telah mengembalikan barang ataupun hadiah yang diberikan pada saat dirinya disuap.
"Bahwa ya jadi terjadi diskriminasi hukum, menimbulkan ketidakadilan, ya bagaimana ma memutus perkara kasasi, kendati majelis hakimnya berbeda kok berbeda beda. Inilah yanh antara lain yang dijadikan alasan untuk mengajukan PK. Nah kalau diajukan PK perkara yang demikian itu ya majelis hakim PK itu ya tetap akan mempertimbangkan," terang Andi.
Alasan kedua, sambungnya, yakni pemohon PK merasa keberatan dengan hukuman yang diberikan kepada pemohon tersebut. Salah satu contohna, ialah pemohon merasa keberatan karena hukuman yang diterima pemohon lebih berat, padahal ia hanya berperan membantu.
"Dari segi hukum pidana membantu itu ya itu salah satu alasan yang bisa meringankan artinya tidak sama dengan pelaku pemeran utama," jelasnya.
"Yang ketiga bisa ada alasan-alasan lain yang masuk independensi hakim, ya soal rasa keadilan, sebab menentukan berat ringannya pidana juga itu merupakan suatu seni, suatu pertimbangan memerlukan suatu bekerjanya fungsi fungsi rasio, fungsi hari nurani dan lain lain," tambahnya.