REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung menegaskan hakim memiliki independensi dalam mengambil keputusan termasuk putusan Peninjauan Kembali (PK) terpidana korupsi. MA. Mahkamah Agung menegaskan tidak bisa mengintervensi putusan hakim.
"Bahkan Ketua MA saja tidak boleh mengintervensi putusan atau memberikan ini itu, mengomentari putusan juga kena rambu kode etik," kata Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro di Jakarta, Jumat (22/1).
Andi Samsan menyampaikan hal tersebut dalam diskusi virtual "PK Jangan Jadi Jalan Suaka" yang diadakan KPK. KPK mencatat setidaknya 65 terpidana korupsi mengajukan upaya PK pada 2020.
Andi Samsan juga mengakui belum ada diskusi terkait dengan putusan PK yang menjadi sorotan publik, misalnya putusan PK terhadap mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang tadinya dihukum selama 14 tahun dalam perkara suap Hambalang dipotong hukumannya menjadi tinggal 8 tahun penjara pada "Secara pengetahuan ilmu hukum, ketika suatu putusan hakim telah diucapkan artinya publik sudah tahu, maka MA tidak ada mekanisme mendiskusikan putusan," tambah Andi Samsan.
Namun menurut Andi Samsan, independensi hakim juga harus dibarengi dengan akuntabilitas dan tanggung jawab. "Karena itu ranah independensi hakim tapi padananindependensi itu adalah akuntabilitas, boleh bebas tapi ada pertanggungajawaban kenapa ambil putusan demikian jadi tidak hanya mengagungkan independensi, memang begitulah keadaan di MA," ungkap Adni Samsan.
Independensi hakim tersebut berdasarkan pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan" serta didukung dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut KPK, terdapat sejumlah fenomena menarik dalam pengajuan PK para terpidana korupsi.
"KPK mencatat ada 65 terpidana korupsi yang mengajukan upaya PK pada 2020, dan hal lain yang menarik adalah ada yang tidak melewati upaya hukum biasa jadi setelah menerima putusan di pengadilan tingkat pertama lalu dieksekusi dan dalam beberapa bulan kemudian mengajukan PK," kata Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan Ali Fikri dalam diskusi tersebut.
KPK pun menilai putusan PK yang diterima majelis PK ternyata menurunkan vonis (strachmacht) angka hukuman. Sejumlah terpidana korupsi yang mendapat keringanan hukuman dari putusan PK antara lain adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang tadinya dihukum selama 14 tahun dalam perkara suap Hambalang dipotong hukumannya menjadi tinggal 8 tahun penjara; mantan Ketua DPD Irman Gusman dalam kasus korupsi impor gula mendapat korting hukuman dari 4,5 tahun menjadi 3 tahun dan langsung bebas.
Mantan anggota Komisi V DPR Musa Zainuddin sebagai terpidana suap proyek infrastruktur divonis 9 tahun penjara dipotong menjadi enam tahun; mantan Hakim MK Patrialis Akbar dalam kasus suap impor daging sapi dihukum 8 tahun penjara dan dipotong menjadi 7 tahun penjara.