Perwakilan dari LBH Jakarta, Arif Maulana, menjelaskan, polisi kerap bertindak brutal dalam menangani unjuk rasa. Dia menengok ke beberapa aksi ke belakang, seperti tolak UU Cipta Kerja pada Oktober 2020, unjuk rasa mahasiswa dan pelajar saat gerakan #reformasidikorupsi pada September 2019, dan unjuk rasa protes Pemilu pada Mei 2019 tanpa konsekuensi hukum yang jelas dan akuntabel.
Arif mengatakan, tindakan brutal terus terjadi karena tidak ada evaluasi menyeluruh dan minimnya pengawasan serta akuntabilitas terkait penggunaan kekuatan dalam menangani unjuk rasa. Faktor lainnya, kata Arif, adalah tidak adanya penghukuman secara tegas baik secara pidana maupun etik bagi aparat yang melakukan tindak kekerasan ataupun atasan yang membiarkan tindakan tersebut.
"Kami berpendapat jika masalah ini tidak dievaluasi maka sulit untuk memiliki pemolisian demokratis di bawah kepemimpinan Listyo," terang dia.
Untuk itu, koalisi mendesak Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri mengevaluasi kembali terkait rencana kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai pemolisian yang demokratis. Mereka pun memintanya untuk segera melakukan reformasi internal kepolisian secara keseluruhan.
"Pertama, dengan membatalkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa," kata perwakilan dari PBHI, Julius Ibrani.
Kemudian, yang kedua, dengan memastikan polisi memposisikan diri secara netral dalam menyikapi dinamika sosial-politik-ekonomi masyarakat. Ketiga, mengevaluasi cara polri mengeluarkan arahan kepada jajarannya dalam bentuk surat telegram yang membatasi kebebasan sipil seperti saat peristiwa penanganan aksi massa penolak UU Cipta Kerja.
"Dan mengevaluasi penggunaan kekerasan secara eksesif dengan melakukan penegakan hukum dan akuntabilitas secara tegas kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kekerasan eksesif dalam menangani aksi massa dan memperbaiki sistem pengawasan internal polri," kata Julius.