Rabu 20 Jan 2021 19:25 WIB

Mengevaluasi Penggunaan Vaksin Pfizer untuk Indonesia

KIPI pascavaksinasi Pfizer menjadi bahan pertimbangan pemerintah Indonesia.

 Seorang petugas kesehatan memegang botol vaksin Pfizer-BioNTech COVID-19 saat dicairkan di laboratorium rumah sakit.
Foto: AP/Frederic Sierakowski/Pool Isopix
Seorang petugas kesehatan memegang botol vaksin Pfizer-BioNTech COVID-19 saat dicairkan di laboratorium rumah sakit.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Rr Laeny Sulistyawati, Intan Pratiwi

Kasus meninggal pascavaksinasi Covid-19 dengan vaksin Pfizer di Norwegia membuat pemerintah mengevaluasi pembelian vaksin tersebut. Pemerintah melakukan pengamatan dari perkembangan penggunaan vaksin Covid-19 di berbagai negara dunia.

Baca Juga

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan serta BPOM akan terus melakukan evaluasi terkait pengadaan vaksin Covid-19 di Indonesia, termasuk vaksin Pfizer. Di Norwegia sebanyak 23 orang meninggal dunia setelah pemberian dosis pertama vaksin Pfizer.

“Ini BPOM pasti mengevaluasi terus. Menteri Kesehatan juga akan mengevaluasi. Sehingga penentuan Pfizer ke depan, iya atau tidak pasti dari hasil-hasil itu semua,” kata Moeldoko kepada wartawan di kantornya, Rabu (20/1).

Ia menyampaikan, pemerintah akan terus mengikuti perkembangan penggunaan vaksin di berbagai negara lainnya serta melakukan evaluasi. Hasil monitor dan evaluasi tersebut akan menjadi pertimbangan dalam pengadaan vaksin di dalam negeri.

“Hasil monitor dan evaluasi dari berbagai negara yang menggunakan Pfizer sebagai vaksin yang menjadi prioritas bagi negara yang bersangkutan,” tambah dia.

Moeldoko pun menegaskan, dalam pengadaan vaksin Covid-19, pemerintah mengutamakan keamanan, kehalalan, dan tingkat efektivitasnya. Sedangkan harga vaksin menjadi pertimbangan berikutnya.

“Pasti BPOM dengan kasus ini sudah bekerja dan mengevaluasi case di negara-negara yang lain. Karena ini kan baru satu negara,” ujar Moeldoko.

Sebelumnya dilaporkan sebanyak 23 orang meninggal dunia beberapa hari setelah menerima dosis pertama vaksin Pfizer di Norwegia. Pejabat di Badan Obat Norwegia, Sigurd Hortemo, menduga, 13 orang di antaranya meninggal karena efek samping dari suntikan vaksin tersebut.

Ke-13 orang yang meninggal tersebut merupakan lansia yang berusia sekitar 80 tahun. Selain itu, lembaga tersebut juga melaporkan total terdapat 29 orang yang mengalami efek samping setelah menerima suntikan pertama vaksin Pfizer atau Moderna.

Kemarin, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, mengatakan segala informasi terkait vaksin Covid-19 dijadikan bahan pertimbangan. Khusus vaksin Pfizer yang diduga menyebabkan sejumlah orang meninggal di Norwegia, Siti mengatakan harus melihat dulu hasil penelitiannya.  

"Itu kan laporan, harus diteliti lebih lanjut apakah itu kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau bagaimana," ujarnya saat dihubungi Republika.

Hingga saat ini pemerintah Indonesia tetap memilih Pfizer sebagai kandidat vaksin Covid-19 di Tanah Air. Kondisi bisa berbeda jika organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) mengatakan Pfizer tidak bisa digunakan lagi.

"Patokannya adalah WHO," kata perempuan yang juga menjabat juru bicara vaksin Covid-19 ini.

Dia melanjutkan, pemerintah juga telah membuat perhitungan sebelum memutuskan memilih kandidat vaksin termasuk Pfizer. Bahkan, sebelum memutuskan memilih kandidat vaksin, pihaknya juga sudah berdiskusi dengan para ahli seperti Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Meski tetap memutuskan membeli vaksin merek Pfizer, Nadia menyebutkan Kemenkes masih dalam proses lobi-lobi untuk mendapatkannya. Menurut Nadia, keberhasilannya bergantung pada negosiasi dan diplomasi pemerintah Indonesia karena negara-negara lain juga ingin mendapatkan vaksin ini.

Hingga saat ini belum ada vaksin selain dari Sinovac yang sudah masuk ke Indonesia. Direktur Utama PT Biofarma (Persero), Honesti Basyir, memastikan vaksin Pfizer masih dalam negosiasi pembelian.

"Dari Pfizer sebenarnya kita juga masih nego. Mereka rencana ada 50 juta dosis untuk kita. Pekan depan harapannya nego ini bisa selesai," ujar Honesti, di hadapan Komisi VI DPR RI, Rabu (20/1).

Ia mengatakan, selain Sinovac yang pasti adalah komitmen dari pemasok vaksin asal Eropa, Covax, sebesar 54 juta dosis. Namun, kata Honesti jika Covax menyatakan ada kelebihan produksi maka pemerintah bisa mengantongi 54 juta dosis lagi.

"Artinya masih ada potensial 108 juta dosis dari mereka. Ini bisa mengakomodir 20 persen dari total populasi yang mendapatkan vaksin," ujar Honesti.

Selain Covax, Biofarma juga sedang membahas pembelian dengan AstraZeneca. Honesti mengatakan sudah mengantongi komitmen dari AstraZeneca sebesar 50 juta dosis. Namun, jika Covax sudah bisa memberikan 108 juta dosis maka opsi dari AstraZeneca ini tidak diambil oleh pemerintah.

Sedangkan untuk jenis vaksin yang dikeluarkan Moderna dan Sinopharm hari ini Biofarma belum sampai pada tahap negosiasi harga dan dosis. Sebab, masih menunggu dari keputusan AstraZeneca dan Covex mengenai dosis yang tersedia.

Secara total, kata Honesti ada sekitar 329 juta dosis vaksin yang saat ini masih dalam tahap nego harga dan jumlah dosis. Namun, untuk potensial dosis (merujuk tambahan potensial dosis dari Moderna dan Sinopharm) ada sekitar 434 juta dosis vaksin.

"Tapi jika memang Covax bisa menyetujui 108 juta dosis maka total keseluruhannya kita punya 633 juta dosis. Sementara kebutuhan dosis vaksin untuk seluruh masyarakat Indonesia ada 426 dosis. Kita berusaha ini semua bisa jalan sesuai arahan Pak Presiden program vaksinasi ini satu tahun selesai," ujar Honesti.

photo
Indonesia mengimpor vaksin Covid-19 dari berbagai produsen vaksin dunia. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement