Ahad 03 Jan 2021 13:41 WIB

Sampah Plastik Desa Bangun, Jadi Sandaran Hidup dan Ancaman

Warga Desa Bangun mengolah sampah dari Amerika dan Eropa.

 Pekerja membersihkan tumpukan puing dan sampah plastik. ilustrasi
Foto:

Masalah sampah plastik ilegal

Sampah plastik mulai membanjiri dan masuk secara besar-besaran ke Indonesia diperkirakan terjadi pada 2017. Saat itu China menutup pintu impor untuk sampah kertas dan plastik. Padahal sebelumnya, hampir 60 persen sampah dunia dibuang ke China.

Penutupan pintu masuk ke China ini menjadikan negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika dan Australia akhirnya harus mencari tujuan lain dari sampah mereka. Negara-negara seperti India, Filipina, Vietnam, Malaysia, hingga Indonesia pun menjadi tujuan baru.

"22 industri kertas di Jawa Timur, mereka lebih menyukai waste paper yang unsorted, artinya mereka lebih banyak mengimpor waste paper yang di negara asalnya tidak disortir. Jadi kemungkinan itu tercampur dengan plastik sangat besar, ini yang mencemaskan. Karena sampah kita tanpa diinspeksi di Bea Cukai, masuk bercampur dengan 20 sampai 40 persen plastik,” kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif LSM lingkungan hidup Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation).

Pasca ramainya pemberitaan mengenai sampah plastik impor ilegal, pendapatan warga Desa Bangun dari memilah sampah turun drastis. Hal ini karena pemerintah meminta perusahaan hanya menerima sampah kertas yang baik, atau tidak ada campuran sampah plastiknya.

"Kalau sekarang pendapatan turun sampai Rp 30 ribu per hari, kadang bisa Rp 50 ribu atau kalau beruntung bisa Rp 100 ribu. Kalau tidak ada sampah plastik, orang sini tidak ada penghasilan. Sampah plastik yang dijemur ini saja dijual Rp. 100 ribu per pickup kepada pabrik tahu dan kerupuk, untuk bahan bakar,” tutur Rebin.

Saat pengiriman sampah plastik khususnya impor masih ramai, warga desa bisa dapat antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu sehari. Bahkan sopir pengangkut sampah plastik setiap harinya memperoleh minimal Rp 500 ribu. "Kalau sekarang pendapatan turun, tapi alhamdulillah masih bisa mencukupi kebutuhan harian keluarga,” ujar Rebin.

Prigi berpendapat ditutupnya keran impor sampah plastik bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat. "Memang masyarakat menjadi kelimpungan, pendapatan mereka berkurang, tapi mereka mulai menyadari ini ada ancaman kesehatan. Ada juga informasi bahwa masyarakat sebenarnya ada yang merasa terganggu tapi takut mengungkap, ini kesempatan masyarakat yang tiarap untuk menginformasikan kepada pemerintah, kalau memang selama ini mereka terganggu,” tutur Prigi.

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement