Jumat 25 Dec 2020 14:53 WIB

Strategi Kabinet Jokowi untuk Jaga Keseimbangan

Masuknya Sandiaga Uno ke dalam kabinet mencerminkan adanya rekonsiliasi politis.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Presiden Joko Widodo (kanan) memberikan ucapan selamat kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno (kiri) saat pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju, di Istana Negara Jakarta, Rabu (23/12).
Foto: Antara/Setpres-Agus Suparto
Presiden Joko Widodo (kanan) memberikan ucapan selamat kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno (kiri) saat pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju, di Istana Negara Jakarta, Rabu (23/12).

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Dosen Ilmu Pemerintahan UMY, Dr Suswanta berpendapat, penunjukkan Sandiaga Uno mencerminkan kabinet baru Jokowi seperti zaman Orde Baru. Yaitu, menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik.

"Jadi, untuk menjaga stabilitas politik, semua yang kritis harus dibungkam atau dikooptasi. Pada saat yang sama, pemerintah melakukan konsolidasi kapital karena semua telah sepakat menerapkan neoliberalisme," kata Suswanta, Jumat (25/12).

Ada dua citra yang muncul atas keputusan Jokowi memasukkan Sandiaga Uno secara positif dan negatif. Citra positifnya pemerintah ingin mengakhiri perseteruan, dan citra negatifnya pemerintah ingin menjadikan kekuasaan tujuan akhir perjuangan.

Suswanta berpendapat, pelantikan enam menteri baru oleh Jokowi menjadi suatu usaha pengendalian atau regimentasi. Meski begitu, ia berharap, rakyat tidak terburu-buru menilai sebelum enam menteri baru yang ada menunjukkan kapasitasnya.

"Harapan positif yang ingin disandarkan agar menteri dan semua yang diberi amanah pejabat publik dapat menjadikan kekuasaan sarana memajukan Indonesia, menyejahterakan rakyatnya dalam arti sebenarnya bukan menyejahterakan diri dan kelompoknya," ujar Suswanta.

Dosen Ilmu Pemerintahan UMY lain, Tunjung Sulaksono mengatakan, reshuffle kabinet sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa dalam dinamika pemerintahan. Walaupun, cukup banyak spekulasi yang beredar terkait penyebab reshuffle tersebut.

Ia menilai, reshuffle tentu bermuara ke usaha peningkatan kinerja pemerintahan. Hal ini bisa dicermati dari beberapa kejadian kemarahan Presiden Joko Widodo kepada menterinya soal serapan anggaran rendah dan melesetnya investasi.

Tunjung melihat, gaya berbeda Jokowi dibanding pendulunya dalam memilih pembantunya, mengakibatkan keputusannya sering dipertanyakan. Ini terlihat dari figur-figur yang dirasa di luar dugaan yang pernah dipilih duduki menteri.

Seperti penunjukkan Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan menggantikan Terawan Agus Putranto. Pergantian ini dianggap tidak tepat mengingat latar belakang Budi Gunadi bukan dari kalangan kedokteran, tapi perbankan.

"Apa yang dilakukan Jokowi seolah ingin menegaskan ini hak prerogatif presiden. Jadi memang gayanya seperti ini, saya mengajak publik bersabar dan menilai secara objektif kinerja mereka, bukan semata-mata latar belakang mereka," kata Tunjung.

Kontroversi lain, masuknya Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata, lawan politik di Pilpres 2019. Tunjung merasa, ini perlu dikhawatirkan karena menunjukkan telah ada rekonsiliasi politis, membuat oposisi tidak efektif mengontrol pemerintahan.

Sebab, suara-suara kritis yang sebenarnya diharapkan bisa muncul dari kekuatan oposisi di luar pemerintahan menjadi semakin kecil kemungkinannya untuk muncul. Sehingga, praktis kemauan pemerintah tidak akan mendapat kontrol yang cukup kuat. "Karena, hampir semua kekuatan politik masuk sebagai pendukung pemerintah," ujar Tunjung.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement