Senin 14 Dec 2020 16:44 WIB

Ketika Ketidakadilan Menjadi Kebiasaan

Selama pembiaran ketidakadilan berlangsung maka pemerintah yang baik tak bisa berdiri

Polisi melanggar hukum (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Polisi melanggar hukum (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Ridwan Thalib, Pakar Hukum

The true adminsitration of justice is the firmest pillar of good government”, penegakan keadilan secara benar adalah pilar terkuat dari pemerintahan yang baik. Tulisan ini terpampang di Gedung Pengadilan Kota New York. Ungkapan itu adalah salah satu tulisan yang diambil dari isi surat salah satu bapak bangsa Amerika Serikat (AS), George Washington, kepada Jaksa Agung Pertama AS, Edward Randolph pada tahun 1789.

Mungkin untuk beberapa orang, agak berlebihan membandingkan kesejahteraan bangsa AS dengan Indonesia. Beberapa pihak akan mencibir bahwa AS maju karena ekonominya, AS maju karena militernya, AS maju karena demokrasinya atau secara historis AS maju karena sudah merdeka jauh lebih lama dari kita. Argumen tersebut tidak sepenuhnya dapat disalahkan, tapi penulis berkeyakinan, kekuatan AS sekarang dikarenakan adanya penegakan hukum yang mengedepankan rasa keadilan.

Sebagai negeri adidaya, AS memiliki kebijakan penegakan hukum yang berwibawa dan berani untuk melakukan investigasi terhadap siapapun. Sebagai contoh, FBI atau Biro Investigasi Federal sebagai alat penegakan hukum pemerintah (sama seperti fungsi polisi di negara lain dengan yurisdiksi yang lebih luas) berkerja dan melakukan investigasi atas nama keadilan dan demi mencari fakta hukum dan tidak selamanya tunduk kepada pempimpin tertinggi, dalam hal ini Jaksa Agung sebagai kepanjangan tangan Presiden.

Beberapa contoh kejadian yang menggambarkan integritas para aparat penegak hukum di AS dapat dilihat sebagai berikut. FBI melakukan investigasi atas kecurangan terhadap pemilu AS pada 2016 lalu.

Investigasi ini mengakibatkan dicopotnya James Comey sebagai Direktur FBI oleh Presiden Donald Trump. Namun yang mengejutkan adalah pengganti Comey, Robert Muller, malah meneruskan investigasi itu sekaligus menambahkan dakwaan baru terkait penggelapan pajak yang dilakukan oleh Donald Trump.

Atau ada pula contoh lain, di mana investigasi FBI dan Kejaksaan Agung yang berakibat mundurnya Presiden Richard Nixon pada tahun 1974 (Watergate). Selain terhadap Presiden, terdapat lagi ratusan investigasi yang dilakukan oleh FBI yang mengakibatkan dipenjaranya pejabat tinggi di AS.

Hal yang sama juga terjadi terhadap konglomerat serta pengusaha yang menjadi jajaran orang terkaya di dunia. Bagaimana kita melihat lembaga penegak hukum melakukan investigasi terhadap pemilik Facebook, Apple atau bahkan Google sekalipun. Pembaca mungkin juga ingat Bernie Madoff, konglomerat dengan harta triliunan rupiah juga diinvestigasi oleh FBI dan berujung penjara ratusan tahun.

Tidak banyak negara di dunia ini yang ''polisinya'' berani mengusut suatu tindak pidana yang melibatkan bukan hanya pejabat ''biasa'' tetapi sampai ke Kepala Negara negara yang bersangkutan. Sebagai gambaran kontras, proses penegakan hukum di Indonesia memiliki perbedaan yang mencolok.

Fakta bahwa kepolisian memiliki sistem paramiliter dengan fungsi penegakan hukum serta menjaga ketertiban (dwifungsi), membuat polisi menjadi institusi yang terkesan intimidatif karena memiliki kewenangan dan persenjataan disaat yang bersamaan. Proses penegakan hukum yang dilakukkan oleh Polri bisa saja bersifat tebang pilih, khususnya dalam hal menjalankan tugas penegakan hukum yang pro terhadap agenda-agenda pemerintahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement