Senin 14 Dec 2020 16:44 WIB

Ketika Ketidakadilan Menjadi Kebiasaan

Selama pembiaran ketidakadilan berlangsung maka pemerintah yang baik tak bisa berdiri

Polisi melanggar hukum (ilustrasi)
Foto:

Dalam sejarah republik ini, kepolisian hampir tidak pernah terlibat dalam pengungkapan atau investigasi terhadap pejabat setingkat menteri atau lebih tinggi. Padahal dalam faktanya, Indonesia menganut asas keseteraan dalam proses penegakan hukum (equality before the law).

Sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak berdirinya yang kurang dari 20 tahun, telah menangkap dan mengungkap ratusan tindak pidana korupsi dengan pelaku mulai dari Sekretaris Mahkamah Agung, Menteri sampai dengan Kepala Daerah.

Kurangnya ekspose perkara korupsi yang diungkap oleh kepolisian bukan dikarenakan tidak kompetennya kepolisian dalam mengungkap perkara. Penulis yakin kepolisian memiliki penyidik yang mumpuni dalam melakukan investigasi. Permasalahan sepertinya terletak di kultur dan sistem penegakan hukum sebagai bagian dari agenda politik pemerintah, dimana Polri, yang memiliki sistem kepangkatan seperti militer, ditempatkan dalam posisi yang demikian khusus dalam roda pemerintahan sehingga memiliki akses dan hubungan yang bersifat satu arah antara atasan dan bawahan.

Komando atau perintah Presiden/pemerintah wajib dijalankan sebagai perintah atasan kepada bawahan. Begitu juga perintah Kapolri (dengan status Jenderal penuh) harus dan wajib dijalankan oleh jajarannya (bagian dari rantai komando). Permasalahan menjadi timbul dalam hal perintah atau komando tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundangan atau tidak mencerminkan rasa keadilan.

Hal ini dapat direfleksikan dalam beberapa kasus tertentu. Yang paling anyar tentu mengenai politik hukum terkait keramaian di masa pandemi yang mana pemerintah pusat cenderung fleksibel dengan mengedepankan perbaikan ekonomi dan menghindari adanya pembatasan sosial secara masif. Agenda pemerintah yang lunak terhadap penyebaran pandemi mau tidak mau harus didukung oleh Polri sebagai institusi yang dibentuk memang untuk menjalankan politik hukum eksekutif.

Di sisi lain, saat salah satu ulama, yang memang vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, melakukan acara pernikahan (resepsi), Polisi menjalankan fungsi penegakan hukum yang tidak diterapkan di kasus lain. Padahal, di Jakarta sendiri terdapat ratusan resepsi selama pandemi berlangsung. Bahkan di Indonesia, pemilihan kepala daerah melibatkan jutaan orang dan berpotensi membuat kluster baru yang konon kata salah satu Menteri Koordinator, pemilihan kepala daerah tidak mungkin menimbulkan kluster corona (diucapkan saat hari H pemilihan).

Penulis tidak mengkritisi kepolisian sebagai institusi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya karena memang kewenangan tersebut diatur dalam peraturan perundangan. Namun, penulis ingin memberikan peringatan terhadap seluruh elemen masyarakat tentang akibat fatal dari ketidakadilan serta agenda tebang pilih yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai agenda kebijakan politik pemerintah.

Apabila suatu ketidakadilan dipertontonkan oleh penegak hukum sebagai agenda tertentu dari oknum yang berkuasa untuk menghancurkan oposisi (yang konsisten mengkritisi pemerintah), dan ketidakadilan itu terus dibiarkan, maka akan timbul kepecayaan diri dari oknum-oknum penguasa tersebut untuk meneruskan penggunaan aparat penegak hukum demi menghancurkan pihak–pihak yang berseberangan sebagai suatu “kebiasaan”.

Selama pembiaran atas ketidakadilan ini berlangsung, maka pemerintahan yang baik (good governance) tidak akan pernah dapat berdiri. Rakyat harus terus menonton bagaimana koruptor dihukum rendah, pejabat hidup bermewah-mewahan, dan kemiskinan terus merajalela. Indonesia sejahtera akan terus menjadi 'sebatas' tema kampanye dari masa ke masa tanpa adanya kejelasan kapan itu terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement