Sabtu 12 Dec 2020 16:01 WIB

 Soal Pasal Hukuman Mati, KPK Bantah Ada Intervensi Politik

Dari gelar perkara, KPK bersepakat diterapkan pasal penyuapan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengenakan rompi tahanan.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengenakan rompi tahanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 yang menjerat Menteri Sosial non aktif Juliari Peter Batubara murni penegakan hukum. KPK menegaskan, tidak ada intervensi politik terkait wacana penerapan pasal 2 ayat 2 dan pasal 3 terkait tuntutan hukuman mati. 

"Kemarin dari gelar perkara yang dihadirkan oleh seluruh penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta struktur penindakan dan pimpinan KPK bersepakat diterapkan pasal penyuapan. Karena bukti permulaan yang ada itu adalah pasal-pasal penyuapan," kata Plt juru bicara KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi, Sabtu (12/12). 

Diketahui, wacana hukuman mati terhadap Juliari Peter Batubara muncul lantaran perbuatan rasuahnya di saat negara dalam bahaya pandemi Covid-19. Oleh karenanya, banyak dugaan adanya intervensi politik sehingga belum diterapkannya pasal pasal 2 ayat 2 dan pasal 3 terkait tuntutan hukuman mati. 

"Tidak ada (intervensi politik) ini murni penegakkan hukum. Jadi tidak ada kaitannya dengan latar belakang politik dari para tersangka," ucap Ali. 

Wacana jeratan penerapan hukuman mati untuk Juliari muncul lantaran selama masa pandemi Ketua KPK Firli Bahuri berkali-kali mengimbau dan menyatakan adanya ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran Covid-19. 

Dalam perkara ini, Juliari bersama Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos diduga menerima suap senilai sekitar Rp 17 miliar dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemensos dalam pengadaan paket bansos. Padahal, pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam. 

Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 berbunyi, (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Menanggapi hal itu, Ali menyatakan, butuh waktu lama untuk membuktikan adanya kerugian negara dalam pengadaan bansos Covid-19, karena ancaman Pasal 2 UU Tipikor berlaku jika adanya kerugian negara. "Jadi, tidak ada kemudian disitu langsung pasal 2 atau pasal 3, itu penyelidikan terbuka," ujar Ali.

KPK, lanjut Ali, memastikan akan mengembangkan perkara ini apakah ada kerugian negara atau tidak. Jika terdapat kerugian negara, tidak menutup kemungkinan akan menerapkan Pasal 2 UU Tipikor.

"Oleh karena itu tentu untuk perkara ini nanti melihat perkembangan penyidikan dari keterangan saksi-saksi, sejauh nanti bukti permulaan yang cukup untuk itu adanya pasal 2 dan 3. Kami pasti akan menerapkan Pasal 2 dan pasal 3 yang ada dugaan kerugian negara," tutur Ali.

Penerapan pasal 2 tersebut, kata Ali, akan dikembangkan melalui keterangan saksi-saksi. Hal ini dilakukan melalui proses penyidikan yang dilakukan oleh tim penyidik lembaga antirasuah.

"Fakta-fakta nanti bisa diperoleh dalam proses penyidikan terbuka. Pasal 2 dan pasal 3 itu penyelesaiannya panjang karena berhubungan kerugian negara yang harus menetapkan bukan KPK ini perlu melibatkan BPK dan BPKP," ujar Ali. 

Penetapan Menteri Sosial Juliari sebagai tersangka menyusul operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan lembaga antirasuah itu pada Sabtu (5/12) WIB. KPK mengamankan enam orang yakni dua pejabat Kemensos dan empat orang pihak swasta dalam operasi senyap tersebut.

Mereka adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso (MJS) Kemensos, Sekretaris di Kemensos Shelvy N (SN) serta Direktur PT Tiga Pilar Agro Utama Wan Guntar (WG). KPK juga mengamankan tiga pihak swasta lainnya yakni Ardian I M (AIM), Harry Sidabuke (HS) dan Sanjaya (SJY).

Dari keenam orang itu KPK menetapkan Mensos Juliari Peter Batubara, Matheus Joko Santoso dan AW sebagai PPK di Kemensos sebagai tersangka penerima suap. KPK juga menetapkan, Ardian I M dan Harry Sidabuke sebagai pemberi suap tersebut.

Tersangka MJS dan AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Tersangka AIM dan HS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 4 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan Menteri Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

KPK menduga Mensos Juliari Peter Batubara menerima suap senilai Rp 17 miliar dari fee pengadaan bansos sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement