Ahad 13 Dec 2020 02:29 WIB

Biar Pengadilan yang Menentukan

Masalah FPI dan kepolisian sebaiknya diselesaikan pengadilan.

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono menunjukan surat pencekalan kepada enam tersangka saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (10/12). Berdasarkan hasil gelar perkara pelanggaran protokol kesehatan terkait kerumunan yang terjadi di Petamburan, Kepolisian menetapkan enam tersangka yang salah satunya Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab dan melakukan pencekalan untuk tidak berpergian ke luar Indonesia. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono menunjukan surat pencekalan kepada enam tersangka saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (10/12). Berdasarkan hasil gelar perkara pelanggaran protokol kesehatan terkait kerumunan yang terjadi di Petamburan, Kepolisian menetapkan enam tersangka yang salah satunya Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab dan melakukan pencekalan untuk tidak berpergian ke luar Indonesia. Republika/Putra M. Akbar

Oleh : Muhammad Hafil*

REPUBLIKA.CO.ID, Keterkaitan masalah antara Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Polri semakin menjadi. Ini setelah tewasnya enam anggota FPI yang mengawal Habib Rizieq di tangan polisi.

Persoalan ini dimulai sejak kedatangan Habib Rizieq pada pertengahan November lalu. Di mana hajatan pernikahan putri Habib Rizieq dipersoalkan pihak kepolisian.

Masing-masing punya versi dan argumennya. Pihak kepolisian mengklaim hajatan itu melanggar aturan, terutama soal adanya kerumunan massa di masa pandemi.

Polisi telah menahan Habib Rizieq, setelah Habib Rizieq memenuhi panggilan pemeriksaan.

Sebelumnya Habib Rizieq tak pernah memenuhi panggilan. Hingga akhirnya, polisi kemudian menetapkan status tersangka untuk Habib Rizieq. Ia dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dan Pasal 216 KUHP tentang tindakan melawan aparat.

Pihak Habib Rizieq mengklaim mendapatkan kriminalisasi dari polisi. Kubu Habib Rizieq menduga ini adalah kriminalisasi. Kubu ini membanding-bandingkan kerumunan lain di masa pandemi yang diadakan oleh, sebut saja misalnya anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming yang memunculkan keramaian terkait pilkada di masa pandemi. Sehingga, ini menjadi alasan tak memenuhi panggilan pemeriksaan sebelumnya.

Hingga akhirnya, terjadilah insiden yang memilukan itu. Di mana, terjadi peristiwa tewasnya enam orang anggota FPI yang mengawal Habib Rizieq beberapa hari lalu. Tentu kita berduka dengan hilangnya nyawa  manusia. 

Soal ini juga terjadi dua versi. Versi FPI dan versi polisi. Masing-masing mengemukakan argumentasinya.

Bagi penulis, agar masalah ini tidak berlarut-larut dan menimbulkan keresahan di kemudian hari, sebaiknya kedua belah pihak agar sama-sama adil dalam menyikapi kasus ini. Pihak Habib Rizieq diharapkan  mengikuti proses hukum yang berlaku yang sedang ditangani oleh kepolisian.

Jika alasannya adalah ini adalah kriminalisasi terhadap Habib Rizieq, maka  ada jalur hukum yang bisa membantah kecurigaan kepada kepolisian itu. Dan, nanti persidangan dan pengadilanlah yang akan menentukannya versi mana yang benar. Dan, jika tidak puas dengan pengadilan tingkat pertama, bisa dilanjutkan ke tahap tingkat pengadilan selanjutnya sampai ke Mahkamah Agung. Negara telah memberikan fasilitas bagi masyarakat yang merasa tidak mendapat ketidakadilan.

Sementara dari pihak kepolisian, juga harus fair. Terutama soal tewasnya enam orang anggota FPI. Di sini, profesionalitas Mabes Polri akan teruji.  Apakah benar-benar menjadi aparat yang benar-benar menegakkan hukum atau hanya lembaga yang membenarkan setiap tindakan anggotanya, meskipun itu terkait dengan penghilangan nyawa manusia.

Dalam kasus ini, yang memiliki keterkaitan dengan Habib Rizieq dan juga termasuk kasus tewasnya enam orang anggota FPI, adalah Polda Metro Jaya. Dan, kasus ini telah diambil alih oleh Mabes Polri.

Sebagaimana tujuan awalnya, pengambilalihan kasus ini oleh Mabes Polri agar penanganan agar proses penyidikan berjalan objektif, profesional, dan transparan. Selain itu, untuk menjaga objektivitas, profesionalitas, dan transparan penyidikan.

Dalam hal ini, Polri bisa melihat dan mencontoh TNI AD pada kasus pelanggaran hukum yang melibatkan oknum prajurit Kopassus pada 2013. Di mana, sejumlah oknum prajurit melakukan pelanggaran hukum dengan menghilangkan nyawa orang lain. Dalam hal ini, TNI AD tidak membela membabi buta anggotanya. Bahkan, kasus ini pun diungkap sampai oknum prajurit itu dipidana. Artinya, yang salah tetaplah bersalah, tidak dibela-bela dan dibenarkan perbuatannya.

Kemudian, juga bisa dilihat dari sikap TNI AD lainnya, soal kasus perusakan kantor Polres Ciracas. Di mana, sejumlah oknum TNI yang bersalah, dinyatakan bersalah dan dibawa ke pengadilan.

Dengan membawa permasalahan ini ke ranah hukum yang sesuai aturan ketatanegaraan, maka diharapkan segala riuh yang berpotensi memunculkan konflik dan situasi panas bisa diredam. Dan, kita percayakan pembuktian masalah ini di pengadilan.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement