REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wali Kota Bogor Bima Arya hari ini menjalani pemeriksaan terkait kasus hasil swab tes Covid-19 Habib Rizieq Shihab (HRS) di rumah sakit (RS) Ummi, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Menurut Bima, pihaknya baru mengetahui HRS positif Covid-19 pada 16 Desember atau hampir sebulan setelah HRS dirawat di RS Ummi.
Selama tiga jam diperiksa di Gedung Bareskrim Polri, Bima membeberkan kronologi yang diketahuinya dalam proses perawatan HRS di rumah sakit tersebut.
"Mungkin 3 jam saya di periksa sebagai kelanjutan dari apa yang sudah saya sampaikan di Bogor. Jadi saya diminta untuk melengkapi keterangan terkait dengan fakta-fakta baru yang didapatkan oleh penyidik dari hasil pemeriksaan terhadap saksi-saksi dari kasus Habib Rizieq di Rumah Sakit Ummi di kota Bogor," ujar Bima Arya saat ditemui di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (18/1).
Bima melanjutkan, fakta baru tersebut terkait dengan informasi tidak benar yang disampaikan oleh pihak rumah sakit. Ketika itu, dirinya selaku Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 mendatangi RS Ummi untuk meminta bekerjasama dan berkoordinasi terkait dengan status HRS. Saat itu, ada hal-hal yang disampaikan oleh pihak rumah sakit yang ternyata setelah didalami informasi tersebut tidak benar.
"Kemudian diketahui bahwa Habib Rizieq sendiri terbukti atau terkonfirmasi positif. Saya di sini menjelaskan kembali tupoksi dari Satgas dan mengapa Satgas datang ke sana karena memang tugas Satgas ini untuk memastikan protokol kesehatan," tegas Bima Arya.
Lebih lanjut, kata Bima, pihak penyidik mendalami tentang kegaduhan yang timbul akibat dari keterangan-keterangan yang tidak benar yang disampaikan oleh pihak rumah sakit. Menurut Bima, pihaknya baru menerima laporan terkait dengan kondisi HRS positif Covid-19 pada 16 Desember 2020. Sedangkan, HRS berada di RS Ummi pada 25 November 2020 lalu.
"Padahal kan harusnya real time atau langsung, jadi memang ada hal-hal yang tidak disampaikan secara terbuka. Jadi saya kira fokusnya di situ dan ini menimbulkan kegaduhan dan menimbulkan persoalan," tutur Bima.
Menurut Bima, sebetulnya pihaknya telah melakukan langkah antisipatif ketika HRS di rumah sakit tersebut. Bahkan, ia meminta langsung pihak rumah sakit untuk melakukan swab terhadap seluruh tenaga kesehatan atau nakes yang ada di RS Ummi. Pihaknya telah melakukan penelusuran kontak dan lain-lain.
"Kemudian pak dirutnya juga kemudian terbukti terkonfirmasi positif itu pun kami lakukan lagi penelusuran dan lain-lain," terang Bima.
Dalam kasus ini, penyidik Bareskrim Polri telah menetapkan tiga tersangka, HRS dan menantunya Hanif Alatas dan Direktur Utama (Dirut) RS Ummi Andi Tatat. Nama terakhir dijadikan sebagai tersangka karena yang bersangkutan telah mengabaikan tanggung jawabnya mengelola rumah sakit yang merupakan rujukan penanganan Covid-19. Ia juga diduga tidak menjalankan tugasnya dengan terus berkoordinasi dan membagikan informasi kepada Satgas Covid-19
Awal mula kasus RS Ummi ini terjadi pada pertengahan November 2020 lalu, saat pihak RS Ummi diduga menutupi kejelasan status tes swab HRS yang tengah dirawat. Satgas Covid-19 Kota Bogor meminta pihak rumah sakit transparan soal hasil tes swab pentolan FPI itu, tapi tidak ada kejelasan. Kemudian, tes usapnya juga dituduh tidak sesuai prosedur, sebab saat Satgas Covid-19 ingin melakukan tes swab langsung dihalangi.
Selanjutnya, saat pasien HRS memutuskan untuk pulang perawatan dan diperbolehkan pihak rumah sakit. Karena, kepulangannya tanpa diketahui oleh pemerintah setempat dan ditambah kondisi kesehatannya, termasuk hasil tes swab-nya pun masih dalam tanda tanya. Belakangan diketahui HRS sempat positif Covid-19 tapi pihak RS Ummi tidak menyampaikan ke Satgas Covid-19.
Ketiga tersangka tersebut dikenakan pasal berlapis, yaitu, Pasal 14 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit. Hasil dalam lidik, sidik, konstruksi pasal ditambahkan Pasal 216 KUHP, Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.