REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Ahmad Yani, menjalani pemeriksaan sebagai saksi selama enam jam, sejak pukul 14.00 hingga 20.00 WIB, Jumat (4/12). Ia mengaku dicecar 24 pertanyaan oleh penyidik Mabes Polri. Salah satunya mengenai sebuah konten di Youtube.
"Jadi ada Youtube yang ditanyakan kepada saya dan Youtube itu ditandatangani oleh presidium KAMI. Itu pernyataan resmi kami atas rencana mogok nasional yang dilakukan buruh sebelum pengesahan Undang-undang Omnibuslaw," ujar Ahmad Yani di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (5/12).
Kendati demikian, Ahmad Yani mengaku tidak mengetahui secara pasti siapa pembuat dan pengunggah Youtube tersebut. Dalam video itu tidak ada gambar tapi hanya terdengar suara yang diduga milik Anton Permana menarasikan pernyataan resmi KAMI terkait dukungan perencanaan aksi mogok nasional buruh menolak Undang-undang Undang-undang Ciptakerja.
Kemudian oleh penyidik, Ahmad Yani juga diperlihatkan bentuk PDF dari suara tersebut. Ternyata itu adalah surat resmi KAMI nomor 19 tertanggal 1 Oktober 2020 tentang dukungan terhadap aksi mogok nasional yang dilakukan kaum pekerja. Jadi, ia merasa heran kaitannya antara video Youtube dengan dirinya. Seolah-olah di dalam video itu adalah dirinya, padahal narasi itu merupakan pernyataan resmi yang ada di Whatsapp milik Anton Permana.
Selain mengenai konten Youtube, Ahmad Yani juga mengaku ditanya terkait kedekatan dirinya dengan tersangka Anton Permana. Ahmad Yani mengaku belum terlalu lama mengenal Anton. Perkenalan kedua tokoh itu pun diakuinya hanya sebatas sama-sama mendeklarasikan KAMI di kawasan Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, pada 18 Agustus lalu.
Sehingga sebelum KAMI dibentuk dia belum mengenalnya. Ini berbeda dengan Jumhur Hidayat yang dia kenal sebelumnya ada KAMI.
"Saya juga ditanyakan sejauh mana kenal Anton Permana. Saya kenal Anton Permana mendekati deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indoensia, kalau Jumhur saya kenal lama," tutur Ahmad Yani.
Sejauh ini, Bareskrim Polri sudah menetapkan sembilan tersangka yang diduga menghasut kericuhan selama demonstrasi menolak Undang-undang Omnibuslaw Ciptaker, termasuk Anton Permana. Para tersangka dijerat dengan pasal beragam, mulai dari Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE), ujaran kebencian berdasarkan SARA, hingga pasal KUHP tentang penghasutan.
Dalam kasus ini, tersangka Anton Permana diduga menulis ujaran kebencian dengan tendensi menyudutkan salah satu etnis dan institusi pemerintah dalam akun Facebook dan Youtube. Seperti menulis ‘Multifungsi Polri melebihi dwifungsi ABRI.’ Kemudian ‘NKRI jadi Negara Kepolisian Republik Indonesia. Ia juga diduga menulis ‘Disahkan UU Ciptaker bukti negara telah dijajah. Dan juga, 'Negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru.’