REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Ali Mansur, Fauziah Mursid, Antara
Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dipastikan masih hidup berkembang di Tanah Air. Salah satu temuan kepolisian tentang para anggota JI adalah mereka mendanai kegiatannya lewat kotak amal yang biasa diletakkan di tempat publik, seperti di minimarket
Anggota Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menyoroti temuan pihak kepolisian yang mengatakan kelompok JI mendapatkan aliran dana dari kotak amal di beberapa supermarket dan minimarket. Ace mengaku prihatin dan mengutuk keras penyalahgunaan kotak amal untuk kepentingan pendanaan terorisme dan kekerasan atas nama agama.
"Pihak kepolisian harus bersikap tegas kepada siapapun yang melakukan tindakan terorisme. Tindakan itu tidak dibenarkan sama sekali dan melanggar nilai-nilai agama dan kemanusiaan," kata Ace kepada Republika, Kamis (3/12).
Politikus Partai Golkar itu mengimbau kepada masyarakat untuk lebih selektif dan memperhatikan secara seksama jika ada pihak-pihak yang meminta bantuan melalui kotak amal. Kotak amal dianggapnya perlu jelas identitasnya dan memiliki legalitas. Menurutnya jika mau bersedekah dan berinfak lebih baik diserahkan kepada lembaga-lembaga yang telah diakui kreadibilitasnya.
"Memiliki rekam jejak yang jelas dan pemanfaatannya digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umat. Seperti pemberdayaan ekonomi, pendidikan pesantren dan madrasah, pembangunan masjid dan lain-lain," ungkapnya.
Anggota Komisi I DPR Abdul Kadir Karding juga menyayangkan adanya penyalahgunaan kotak amal di minimarket untuk pendanaan kelompok terorisme. Adanya temuan tersebut dinilai sangat memperhatinkan lantaran niat pemberi amal disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Menurut saya mereka itu masuk dalam kategori menggunakan uang haram. karena tidak sesuai untuk peruntukannya," kata Karding.
Politikus PKB itu menyarankan agar dibentuk suatu sistem pengumpulan dana masyarakat yang didalamnya mencakup kontrol, sehingga dana yang dikumpulkan bisa benar-benar diperuntukan sebagaimana mestinya. Diharapkan melalui sistem tersebut orang yang beramal nantinya bisa sampai pada tujuan yang diinginkan.
"Jadi kalau untuk masjid ya untuk masjid, untuk yatim piatu untuk yatim piatu, atau untuk kegiatan sosial yang lain," ujarnya.
Kemudian masyarakat juga diharapkan lebih selektif dalam memberikan sumbangan. Menurutnya perlu ada edukasi ke masyarakat agar uang yang disumbangkan bisa diberikan ke lembaga infak yang terpercaya.
"Sehingga mereka bisa kontrol dengan sistem yang kita punya agar uang yang dikumpulkan atau sumbangan yang dikumpulkan di toko mereka itu dipastikan sampai pada yang punya hak untuk menerimanya," tuturnya.
Terakhir dirinya juga meminta kepolisian untuk menindak tegas kelompok yang menyalahgunakan kotak amal. Perlu ada hukuman yang tegas dari kepolisian agar kejadian tersebut tidak terulang kembali.
"Polisi tidak boleh main-main, harus kencang, termasuk memberi pesan kepada yang lain jangan coba-coba main-main seperti ini, menyalahgunakan uang amal apalagi untuk terorisme, tidak boleh dikasih ampun harus dihajar sangat keras," tegasnya.
Sebelumnya Polri mengungkap cara kelompok teroris JI dalam mengumpulkan dana untuk melancarkan aksi terornya di Indonesia. Setidaknya, ada dua cara yang digunakan oleh JI, yaitu dari bisnis kolektif internal dan pendanaan dari luar.
Hal ini disampaikan oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono. Sumber dana diperoleh dari badan usaha yang dikelola oleh bidang pengelolaan aset dan pendanaan. Namun yang cukup mengejutkan adalah penyalahgunaan kotak amal. “Penyalahgunaan fungsi uang kotak amal dari sejumlah minimarket yang berada di beberapa wilayah di Indonesia,” kata Awi.
Kemudian, lanjut Awi, dari dana yang terkumpul digunakan untuk beberapa keperluan. Di antaranya memasok bahan peledak yang dijadikan bom dalam setiap teror, juga digunakan untuk operasional pemberangkatan sejumlah teroris ke Suriah.
Mereka di sana digembleng untuk pelatihan militer dan perencanaan taktik teror. "Serta digunakan untuk menggaji pimpinan markaziah JI,” tutur Awi.
Sejumlah tokoh penting JI memang sudah ditangkap pihak kepolisian. Penangkapan terakhir, adalah tersangka Upik Lawanga pada 23 November lalu di Provinsi Lampung. Upik dianggap sebagai penerus Dr Azhari, oleh rekannya ia dijuluki sebagai ‘profesor’ karena memiliki kemampuan merakit bom berdaya ledak tinggi.
Selain itu, menurut Awi, Upik diduga terlibat dalam serangkaian aksi teror sejak 2004 di Sulawesi Tengah dengan total korban puluhan orang tewas dan luka-luka. Serangan paling mematikan juga pernah dilancarkan kelompok JI ini, yaitu tragedi 'Bom Bali' tanggal 12 Oktober 2002, 202 orang tewas dan 88 di antaranya adalah warga Australia. Kemudian juga ledakan bom di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton pada teror 2009 silam.
Meski sebagian anggotanya telah tertangkap, Polri memastikan JI hingga saat ini masih bertahan dan memiliki kekuatan secara militer. Secara legal, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2008 telah menetapkan JI sebagai organisasi terlarang.
"JI masih terus berkembang. JI sampai saat ini masih tetap hidup dan memiliki kekuatan secara militer," kata Awi.
Keyakinan Polri itu didasarkan pada penangkapan Densus 88 Antiteror terhadap 24 anggota JI di berbagai wilayah di Indonesia selama Oktober-November 2020. Di antara mereka yang ditangkap tersebut, ia mengatakan, terdapat beberapa pimpinan JI yang berperan mengendalikan organisasi dan mendanai kegiatan JI.
Tahun lalu, Polri pernah mengungkap sejumlah sumber pendanaan kelompok JI. Salah satu usaha yang dijalankan adalah perkebunan. Dari upaya pendanaan tersebut JI bisa menggaji pentolannya, Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per bulan.
Aksi kelompok JI memang mungkin terkesan senyap atau tidak ada lagi. Polri mencatat namun diam-diam JI yang belum melancarkan aksi terorisme itu sedang membangun upaya lain. Yakni membangun kekuatan khilafah di Indonesia.
Bulan lalu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin meluruskan pemahaman salah suatu kelompok yang menganggap sistem Islami hanya khilafah. Ia mengakui sistem khilafah memang Islami, tetapi tidak hanya khilafah, sistem kerajaan, republik, keamiran juga sistem yang Islami.
Saat ini tidak ada satu pun negara di dunia yang menggunakan sistem khilafah. Menurutnya, era sistem kekhalifahan kini tidak lagi digunakan oleh negara-negara pada umumnya.
"Itu yang harus dipahami, sebab bisa kerajaan, bisa keamiran, bisa republik, bahkan sekarang saja tidak ada khilafah, itu saja ISIS (yang pakai), tidak ada sekarang negara normal yang pakai khilafah, tidak ada, yang ada (negara) tidak normal itu ya ISIS itu," ujar Ma'ruf saat menjadi narasumber dalam acara bertajuk Indonesia Damai Tanpa Khilafah, Senin (9/11).
Pernyataan Ma'ruf itu ditujukan untuk sekelompok orang yang masih bersikeras mengganti sistem kenegaraan Indonesia menjadi khilafah. Ma'ruf menegaskan jika sistem khilafah sudah otomatis tertolak masuk ke Indonesia.
Itu karena sudah ada sistem kenegaraan Indonesia yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Menurutnya, dalam kaidah Islam, sesuatu yang telah menjadi kesepakatan tidak boleh diingkari. "Negara NKRI sudah final, sistem selain itu termasuk seperti khilafah sudah tertolak, karena kita punya kesepakatan," ujar Ma'ruf.
Ia menegaskan, para pendiri bangsa juga tidak sembarang dalan membuat kesepakatan mengenai sistem kenegaraan Indonesia. Apalagi sebagai bangsa yang majemuk, ideologi Pancasila merupakan pilihan yang terbaik.
"Memang ini mesti dipahami tapi kalau ini tidak bisa disadarkan dan dia terus lakukan manuver, itu kan berhadapan dengan sistem kenegaranan maka tentu kalau dia ingin mengganti sistem kenegaraan maka dia menghadapi aturan dan UU dalam negara ini," ujar Ma'ruf.