Kamis 26 Nov 2020 10:58 WIB

Selamatkan Hak Anak Korban Perceraian 

Angka perceraian di Pulau Jawa Meningkat akibat pandemi Covid 19.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
ilustrasi:kasus perceraian suami istri.
Foto:

photo
Perceraian (Ilustrasi) - (The Guardian)

Tentu saja, kata dia, ini akan ada dampak kekerasan baik fisik maupun psikis. Termasuk juga, keberlangsungan pendidikan anak. Karena, dalam situasi pandemi PJJ butuh pendampingan orang tua.

Sementara, kata dia, kalau sudah bercerai maka kedua orang tuanya tak ada lagi fokus untuk mendampingi anaknya. Kondisi ini, akan berdamoak pada pendidikan anak. Bahkan, bisa putus sekolah.

"Situasi pandemi ini membutuhkan kesiapan anak agar tak stres, mereka butuh pendampingan. Nah adanya perceraian dari sisi pengasuhan ini akan terabaikan," katanya.

Jasra merinci, banyak hak yang akan terampas dari anak korban percerain. Di antaranya hak kesehatan, hak kasih sayang, hak pendidikan, hak lingkungan ramah, dan hak-hak lainnya.

"Orang tua tak memenuhi haknya biasanya kami mediasi. Kan mantan suami istri ada tapi tak ada mantan anak," katanya.

Seharusnya, kata dia, orang tua yang bercerai paham akan kondisi anak. Sehingga, dampak perceraian bisa diminimalisir. "Harusnya keluarga besarnya yang memperhatikan saat orang tuanya abai," katanya.

Terkait Raperda Perlindungaan Anak yang sedang disusun Pemprov Jabar, Jasra berharap perubahan peraturan daerah tersebut harus sudah mengevaluasi aturan sebelumnya. Yakni, mana yang sudah berhasil dan mana yang harus dtingkatkan. 

"Kalau ternyata dalam pelaksanaanya ada gap, saya berharap Perda yang baru bisa menjawab gap itu," katanya.

Di Indonesia, kata dia, ada 31 hak anak yang harus dipenuhi pemerintah daerah dan masyarakat. Revisi Perda perlindungan anak yang dilakukan Provinsi Jabar diharapkan bisa menjawab semua persoalan. "Kami harap, Perda tak hanya seperti menu makanan. Yakni, ada daftar tapi tak bisa semuanya dicicipi," katanya.

Jasra menilai, setelah Perda Perlindungan anak ini disahkan harus ada pihak organisasi perangkat daerah (OPD) yang bertanggung jawab. Jadi, jangan norma saja tapi tak implementatif. Yakni, harus dijabarkan lagi dalam peraturan gubernur (Pergub) dan Peraturan Bupati (Perbup).

"Perda Perlindungan anak,  harus mampu menjawab persoalan anak. Termasuk bagaimana mengatasi kasus di dalam rumah yang selama ini kita tahu dari laporan. Kekerasan anak kan seperti gunung es yang terungkap sedikit," katanya. 

Sementara menurut Anggota Komisi V DPRD Jabar yang juga Anggota Panitia Khusus (Pansus) Penyelenggaraan Perlindungan Anak (PPA), Siti Muntamah, angka percerain di tengah pandemic ini tinggi. Karena, salah satu dampak dari pandemi covid 19 ini  selain kesehatan, sosial, ekonomi, dampak terbesarnya adalah perceraian yang naik sampai 4 kali lipat. Kondisi ini, memperihatinkan bagi semua karena keluarga harusnya menjadi benteng terakhir dari perlindungan yang diberikan pada anak. 

“Saya sedih, apa pun judul persoalannya sebaiknya harus mempertahankan keutuhan keluarga. Ini, pekerjaan rumah terbesar dari kabupaten/kota di Jabar. Karena perceraian tinggi tak hanya di Bandung tapi juga Bandung Raya,” katanya.

Siti mengatakan, ada beberapa dampak yang akan dialami anak korban perceraian. Yakni,  anak akan merasa terjatuh harga dirinya, terjatuh masa depannya, terjatuh keberadaanya dan merasa menjadi tidak penting. Jelas, semua anak akan menjadi korban dalam hal ini.

“Jiwa anak pasti terguncang apalagi saat harus memilih salah satu orang tuanya. Bagaimana jiwa dan merannya anak melihat yang bercerai,” katanya.

Siti menjelaskan, berdasarkan konvensi PBB hak dasar yang harus diterima anak ada 4. Yakni hak terhadap keberlangsungan hidup, hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak paritsipasi. Namun, di Indonesia ada 31 hak anak yang harus dipenuhi, di antaranya hak pendidikan, kesehatan ramah anak, hak lingkungan ramah anak dan hak-hak lainnya.

Siti menilai, saat kedua orang tua bercerai maka ada berbagai hak yang terampas dari seorang anak. Yakni, pertama hak tumbuh kembang. Karena, tumbuh kembang anak tergantung kondusivitas keluarga. Karena, yang memberikan cinta kasih sayang dan perhatian pada seorang anak seharusnya keluarga terdekat yaitu orang tua. 

“Tapi saat bercerai hak ini menjadi kurang sempurna,” katanya.

Hak kedua yang akan tercabut, kata dia, perlindungan anak. Karena, anak seharusnya merasakan perlindungan kedua orang tunya. Namun, perceraian kerap memaksa anak harus memilih tinggal dengan ibu atau dipaksa ikut dengan ayahnya. Bahkan, ada anak yang harus terpaksa tidak ikut dengan ayah atau pun ibunya tapi harus tinggal dengan keluarga yang lain. 

“Ini jadi hal yang berat dirasakan anak. Jadi, perlu mendorong hadirnya penguatan keluarga melindungi hak penting yang harus diperoleh anak,” katanya.

Siti khawatir, tingginya perceraian di masa pandemi ini akan menemukan anak-anak yang dirudung kesedihan mendalam dan mengalami kekecewaan kuat. Selain itu, anak pun dikhawatirkan akan kehilangan tempat melabuhkan berbagai persoalan yang dihadapinya. “Kalau kondisi ini terjadi, dikhawatirkan akan menjadi persoalan sosial seperti kenalakan remaja mungkin,” katanya.

Dikatakan Siti, untuk melindungi semua hak anak di Jabar, saat ini pihaknya sedang mematangkan Raperda PPA. Aturan ini dirumuskan, agar ada perlindungan anak Jabar. Karena, saat ini Perda yang ada di Jabar sudah kurang relevansinya terhadap pemenuhan anak berdasarkan konvensi hak anak. Yakni, kalau di Perda sebelumnya lebih menyorot pada perlindungan anak untuk perlindungan khusus. “Untuk Raperda hari ini  akan dibuat sesuai dengan konvensi hak anak yakni memperhatikan pencegahan dan perlindungan khusus anak,” katanya.

 Tujuan dari Raperda PPA ini, merupakan bagian dari konvensi anak. Serta, bagian integral dari provinsi layak anak. Selain itu, memberikan cakupan lebih luas karena ada pencegahan dan perlindungan khusus. Serta, semua pihak terlibat dalam perlindungan anak siapa melakukan apa.

“Ya, dengan Raperda ini diharapkan dan diupayakan secara bertahap setiap daerah dari mulai kota/kabupaten sampai RT/RW memiliki langkah pemenuhan hak anak,” katanya.  

***

 

 

Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement