Kamis 26 Nov 2020 10:58 WIB

Selamatkan Hak Anak Korban Perceraian 

Angka perceraian di Pulau Jawa Meningkat akibat pandemi Covid 19.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
ilustrasi:kasus perceraian suami istri.
Foto:

photo
Setiap anak berharap memiliki orang tua utuh dan hidup bahagia. Sayangnya, tidak semua anak beruntung mendapatkanya dan harus merasakan perceraian orang tua (Ilustrasi Kesedihan Anak) - (Pxfuel)

Selain anak Sabrya, seorang anak korban perceraian lainnya, Raffana (14 tahun, bukan nama sebenarnya, red) harus merasakan pahitnya kenyataan hidup akibat kedua orang tuanya berpisah di saat pendemi ini. Sebelum pandemik, ibunya Raffana sebenarnya sudah mencium ada yang tak beres dengan suaminya. 

Bahkan, menurut Raffana, saat duduk di bangku SD, ia sering memergoki ayahnya sedang menghubungi perempuan lain. Hal itu, diungkapkan oleh Raffana pada ibunya. Namun, ibunya tak percaya. Hingga akhirnya, kecurigaan Raffana terbukti karena pandemi. 

Saat semua orang harus bekerja di rumah, Ayah Raffana aktivitasnya tak berubah. Bahkan, pulang kerja selalu larut malam. Hal itu, membuat kecurigaan ibunya semakin besar. Pertengkaran demi pertengkaran kedua orang tuanya harus disaksikan oleh Raffana. Hingga akhrinya, kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah.

‘Ya sedih banget harus berpisah dengan ayah dan dua adik saya,” ujar Raffana singkat sambil menunduk dan kembali memainkan handphonenya berusaha menyembunyikan kesedihan.

Raffana mengatakan, ia sangat terpukul dengan perpisahan kedua orang tuanya. Apalagi, saat kedua orang tuanya meyakinkan dirinya untuk memilih tinggal bersama ayah atau ibunya. Ia, sangat bingung. Akhirnya, ia memilih tinggal dengan ibunya. Walaupun, Raffana setiap hari hanya di temani neneknya karena ibunya harus bekerja di luar kota. Sementara dua adiknya yang masih kecil-kecil harus di bawa oleh ayahnya.

‘Sedih, ga bisa main sama adik-adik lagi,” katanya singkat berlinang air mata.

Gambaran kehidupan Anak Balita Sabrya maupun Raffana, merupakan protret sehari-hari yang terjadi di Negara kita akibat angka perceraian di masa pandemic yang tinggi. 

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Dirjen Badilag MARI), angka perceraian di Pulau Jawa Meningkat akibat pandemi Covid 19. Penggugat, umumnya berada di Pulau Jawa. Khususnya di Provinsi Jawa Barat, di Kota Semarang dan Surabaya. 

Pada awal PSBB bulan April dan Mei 2020 angka perceraian di Indonesia di bawah 20 ribu kasus. Namun, pada Juni dan Juli 2020 jumlah perceraian meningkat menjadi 57 ribu kasus.   

Menurut Komisioner KPAI bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, kasus perceraian yang tinggi memang berimplikasi pada kasus kekerasan anak. Hal itu, diketahui dari 9 data yang masuk ke KPAI ada data aduan keluarga dan pengasuhan alternatif. Salah satunya, laporan anak korban perceraian karena akses bertemu dengan orang tuanya sulit. Selain itu, anak pun kebingungan, bagaimana pengasuhan antara ibu dan bapak yg sudah bercerai. 

"Ini malah muncul karena kekerasan di antara dua belah pihak yang bersikeras kedua-duaanya ingin mengasuh akhirnya akses ketemu dua-duanya akan terjadi problem. Ini persoalan kita," katanya. 

Masalah lainnya, kata dia, termasuk anak yg ditelantarkan. Dari data KPAI 2019 kasus kekerasan pada anak ini ada 896 kasus. Sementara, pada 2020 per 31 Agustus datanya sudah melebihi 2019. Yakni, mencapai 963.

"Ini kan sisa masih ada 3 bulan lagi. Jadi kayaknya kasus kekerasan anak bisa melebihi angka 1.000 untuk kasus keluarga dan pengasuhan anak ini," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement