REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Haura Hafizhah
Masyarakat diminta tak ragu untuk mendapat suntikan vaksin Covid-19. Vaksinolog Dirga Sakti Rambe menyebutkan, vaksin yang sudah mendapat izin edar dan diberikan kepada masyarakat bisa dipastikan aman secara klinis.
Ia beralasan, sebuah vaksin pasti melalui perjalanan panjang dalam riset sampai produksi sampai mendapatkan izin edar. Belum lagi, uji klinis yang dilakukan terhadap ribuan subjek relawan dan dicatat seluruh perkembangan yang ada.
"Uji klinis ini panjang fasenya ada tiga, yang libatkan total ribuan orang. Tujuannya pastikan vaksin aman, dan efektif. Setelah itu, vaksin dapat izin edar, kalau di Indonesia dari BPOM. Semua vaksin yang dapat izin dari BPOM pasti terjamin keamanan dan efektivitasnya," ujar Dirga dalam dialog virtual yang diadakan oleh Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Jumat (20/11).
Terkait produk vaksin mana yang akan digunakan oleh pemerintah Indonesia, Dirga melihat semua negara di dunia pun masih menunggu. Memang sudah ada dua pabrikan farmasi di Amerika Serikat (AS) yang mengklaim efektivitas vaksinnya tembus 90 persen. Namun menurutnya, angka tersebut belum final. Perlu menunggu sampai uji klinis rampung untuk melihat efektivitas aslinya.
"Dari situ ketahuan berapa efektivitas sesungguhnya. Setelah itu, produsen atau pembuat vaksin harus mengajukan izin edar ke BPOM kalau di sini. Kalau BPOM setuju, melalui sebuah review panjang untuk menjamin vaksin aman dan efektif. Setelah keluar izin BPOM baru kita gunakan secara luas," ujar Dirga.
Indonesia juga diyakini memiliki infrastruktur yang memadai untuk proses distribusi vaksin hingga ke pelosok, termasuk vaksin Covid-19 yang sedang ditunggu-tunggu. Dirga menjelaskan, Indonesia sudah memiliki pengalaman puluhan tahun untuk memproduksi, mendistribusikan, hingga mengimplementasikan vaksin ke dalam tubuh masyarakat luas.
Ia menyebutkan, vaksin sendiri adalah produk biologis yang rentan mengalami kerusakan. Produk vaksin juga diketahui sangat sensitif terhadap suhu penyimpanannya.
"Mayoritas vaksin disimpan pada suhu 2-8 derajat Celcius, kecuali vaksin polio yang minus 20 derajat Celcius. Sejak vaksin diproduksi sampai digunakan di rumah sakit, puskesmas, dan transportasinya mesti terjamin suhunya. Dan jangan kahwatir, kita sudah berpengalaman. Kita sudah siap," ujar Dirga.
Sistem cold chain atau rantai dingin dalam proses distribusi produk biologis seperti vaksin sebenarnya sudah berjalan lama di Indonesia. Dirga memastikan, Indonesia secara prinsip sangat siap mendistribusikan vaksin Covid-19 hingga ke pelosok negeri agar bisa digunakan seluruh masyarakat.
"97 persen sistem cold chain ini berjalan dengan baik jadi nggak perlu khawatir. Jadi mulai dari pabrik sampai yang menerima di puskesmas, misalnya di Aceh, di Papua itu semua sudah siap," kata Dirga.
Selain infrastruktur yang sudah siap, sumber daya manusia (SDM) termasuk petugas distributor dan vaksinator pun sudah dimiliki Indonesia. Dirga menyebutkan, Indonesia memiliki sejumlah pabrik farmasi besar yang memang selama ini memproduksi vaksin seperti PT Bio Farma. Produsen vaksin dan pemerintah ini, ujarnya, sudah memiliki petugas andal yang memahami bagaimana cara mengantar vaksin dengan aman hingga ke fasilitas kesehatan.
"Ada petugas di pabrik, nanti ada driver sampai disuntikkan ke tenaga kesehatan itu semua dijamin dan sudah ada sistem yang berjalan bertahun-tahun di Indonesia," kata Dirga.
Proses distribusi vaksin pun, lanjut Dirga, sudah canggih. Alat penyimpanan vaksin sudah dilengkapi sensor suhu yang akurat dan mesin pendingin untuk menjaga suhu ruang tetap sesuai. Menurut Dirga, vaksin tetap aman didistribusikan menggunakan moda transportasi apapun, baik darat, laut, dan udara.
Dalam setiap produk vaksin pun, ujar Dirga, terpasang label VVM (vaccine vial monitor) yang berfungsi mendeteksi adanya kerusakan vaksin akibat suhu yang tidak sesuai. Saat kepanasan misalnya, label VVM ini akan berubah warna dan menunjukkan bahwa vaksin tersebut tak dapat disuntikkan kepada manusia. Hal ini pun, kata Dirga, sudah jamak dipahami oleh seluruh tenaga medis atau vaksinator.
"Semua penyimpanan dan alat pembawa sudah dibuat lapisan khusus sehingga suhu tetap terjaga. Dan vaksin yang kita gunakan selama ini ada yang namanya VVM di kemasan itu ada semacam label yang kalau dia berubah, oh ini tanda suhunya di luar yang seharusnya jadi tidak bisa digunakan. Segitunya kita jaga kualitas vaksin sehingga yang dipakai aman dan efektif," kata Dirga.
Selain SDM distribusi yang mencukupi, Indonesia juga memiliki jumlah tenaga medis yang memadai untuk melakukan vaksinasi kepada masyarakat. Saat ini tercatat ada sekitar 440.000 lebih tenaga medis yang tergabung dari dokter umum, dokter spesialis, perawat, dan bidan yang memiliki kemampuan melakukan vaksinasi.
"Semuanya pasti nanti gotong royong jalankan imunisasi ini. Kedua, dari data, menunjukkan ada 23.000 vaksinator alias orang yang sudah terlatih aktif memberikan imunisasi," kata Dirga.
Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan vaksin Covid-19 mungkin saat ini sudah ada yang lolos uji klinis. Tapi harus diingat dan disadari kalau pandemi Covid-19 ini belum berakhir apalagi bagi Indonesia yang masih punya permasalahan besar terkait intervensi 3T yaitu testing, tracing dan treatment serta 3M yaitu menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak dengan strategi komunikasi risiko yang tepat.
“Perkembangan vaksin Covid-19 bukan solusi ajaib. Keberhasilan setiap program vaksinasi akan dipengaruhi strategi kesehatan masyarakat yang sukses. Maka dari itu, dibutuhkan waktu berbulan-bulan sebelum vaksin aman dan efektif dapat diproduksi dan didistribusikan secara global,” katanya kepada Republika, Jumat (20/11).
Kemudian, ia melanjutkan untuk keluar dari situasi pandemi, maka setiap negara dan wilayah wajib melakukan upaya testing, tracing, treatment, isolasi dan karantina. Serta menggerakkan masyarakat untuk membiasakan cuci tangan, menjaga jarak, memakai masker dan membatasi keramaian/kumpulan massa di dalam atau di luar ruangan untuk mengurangi penularan Covid-19 di komunitas sekaligus melandaikan kurva pandemi.
Lalu, untuk menjamin keberhasilan strategi herd immunity dengan adanya vaksin yang aman dan efektif maka setiap negara harus melandaikan kurva pandeminya yang berakibat pada rendahnya angka reproduksi. Sehingga akan memperbesar peluang keberhasilan program vaksinasi (herd immunity).
“Dua faktor lainnya yang mempengaruhi keberhasilan program vaksinasi ini adalah persenan dengan cakupan vaksinasi atau jumlah penduduk yang divaksinasi dan efektivitas vaksin,” kata dia.
Dicky lalu menanggapi kabar vaksin Pfizer yang disebut efektif lebih dari 90 persen. Menurutnya, ada beberapa hal yang masih harus diklarifikasi, dievaluasi, dan diamati.
Yaitu pertama, sampai saat ini ia masih belum tahu bagaimana kinerja vaksin ini pada populasi umum. Sebab, vaksin ini tidak dapat mengatakan dengan pasti apakah efektifitas vaksin akan tetap pada 95 persen dalam populasi yang lebih besar.
“Kami juga masih belum tahu data viral load pada kasus orang yang divaksinasi. Viral load ini memiliki implikasi penting untuk potensi penularan. Karena jika orang yang divaksinasi dapat terinfeksi (walaupun kecil kemungkinannya) dan memiliki viral load yang tinggi maka mereka berpotensi menularkan ke orang lain,” kata dia.
Sehingga sangat penting untuk memahami kalau orang yang menerima vaksin tidak boleh menghentikan tindakan lain untuk mengurangi risiko penularan masker, jaga jarak dan sebagainya. Ia menambahkan penting untuk mengevaluasi vaksin dan kemanjurannya secara umum setelah vaksin dipasarkan. Sebagaimana hal serupa terjadi dalam setiap produk pengembangan vaksin. Vaksin tidak berhenti dipelajari dan diamati setelah uji klinis fase tiga selesai atau meski izin edar telah diberikan. Ini yang sering disebut dengan uji fase empat.
“Kami semua harus terus berupaya fokus pada optimalisasi program 3T dan 3M yang dilakukan masif, merata dan setara dengan eskalasi pandeminya, selain juga terus menerus melakukan pengurangan risiko, seperti menutup sekolah/pesantren/kampus, setidaknya 70 persen pegawai non-esensial WFH, peniadaaan aktivitas yang menyebabkan mobilisasi massa yang besar seperti pilkada, demonstrasi dan sebagainya,” kata dia.
Hari ini, pemerintah merilis penambahan kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 4.792 orang dalam 24 jam terakhir. Angka hari ini menegaskan tren kenaikan kasus yang kembali terjadi, setelah grafiknya sempat melandai pada Oktober lalu.
Bahkan pada 2 November lalu, kasus harian dilaporkan cukup rendah, 2.618 orang. Namun selang beberapa hari setelahnya, lonjakan kasus kembali terjadi dengan puncaknya 5.444 kasus baru pada 13 November. Secara umum, grafik menunjukkan peningkatan kasus sampai hari ini.
Secara umum, kapasitas pemeriksaan sampai hari ini masih naik secara stabil. Jumlah orang yang diperiksa juga mengalami peningkatan dibanding akhir pekan lalu yang jeblok. Namun perlu jadi catatan, pola mingguan yang selalu terjadi adalah kapasitas pemeriksaan memang selalu anjlok di akhir pekan atau tanggal merah lain. Kapasitas tes kembali naik lagi pada hari kerja.
Jumlah spesimen yang diperiksa per Jumat (20/11) ini sebanyak 41.955 spesimen, dengan 39.204 orang yang diperiksa. Angka ini tentu jauh di atas kapasitas tes pada Ahad (15/11) lalu yang hanya 32.861 spesimen dan 25.396 orang diperiksa.
Dari data hari ini, tingkat positif atau positivity rate Covid-19 di Indonesia sebesar 12,22 persen. Angka ini menggambarkan, dari 100 orang yang dites hari ini, terdapat 12 orang yang dikonfirmasi positif Covid-19.