Rabu 18 Nov 2020 21:13 WIB

Masih Pandemi, IDAI Belum Rekomendasikan Sekolah Tatap Muka

IDAI merekomendasikan sekolah ditutup dulu selama pandemi.

Guru dan murid menggunakan masker pada uji coba sekolah tatap muka di SMA Taruna Bangsa Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (16/11/2020). Sebanyak 57 SMA/SMK Sederajat di Banyuwangi melakukan uji coba pembelajaran tatap muka yang pada satu minggu pertama diprioritaskan untuk siswa kelas X karena semenjak masuk SMA mereka belum pernah duduk di bangku sekolah akibat pandemi COVID-19.
Foto: ANTARA/Budi Candra Setya
Guru dan murid menggunakan masker pada uji coba sekolah tatap muka di SMA Taruna Bangsa Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (16/11/2020). Sebanyak 57 SMA/SMK Sederajat di Banyuwangi melakukan uji coba pembelajaran tatap muka yang pada satu minggu pertama diprioritaskan untuk siswa kelas X karena semenjak masuk SMA mereka belum pernah duduk di bangku sekolah akibat pandemi COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) hingga saat ini belum merekomendasikan pembelajaran tatap muka atau pembelajaran langsung bagi siswa sekolah selama masa pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut penting untuk mencegah peningkatan risiko penularan SARS-CoV-2, virus corona jenis baru yang menyebabkan Covid-19, ini pada kelompok anak.

"Pembelajaran tatap muka belum direkomendasikan selama suatu daerah belum menjadi zona hijau atau setidaknya zona kuning,” kata dr. Endah Setyarini, Sp.A dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim saat diskusi daring bertema “Vaksin Covid-19 dan Kesiapan Anak Menjalani Pembelajaran Tatap Muka” yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung dan Jurnalis Sahabat Anak (JSA) yang didukung Unicef Indonesia, Rabu.

Baca Juga

Endah menyatakan, rekomendasi yang disampaikannya itu sudah sesuai pesan Ketua Umum PP IDAI, dr Aman B. Pulungan SpA. Sesuai dengan rekomendasi WHO, IDAI menyarankan agar sekolah ditutup dulu selama pandemi.

Endah mengatakan, selain zona risiko, ada banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan sebelum memutuskan akan membuka sekolah. Pertama, yaitu melakukan pemetaan kasus positif per kelurahan dan pemetaan lokasi sekolah termasuk dari mana saja muridnya berasal.

"Karena bisa saja sekolahnya zona hijau, tapi muridnya ada yang dari zona merah dan terjadi penularan sesama siswa, lalu ke orang dewasa di sekitarnya," ujar Endah.

Selain itu, menurut Endah, perlu diperhatikan pula transportasi siswa ke sekolah. Siswa yang menggunakan kendaraan umum tentunya akan lebih berisiko. Lalu, perlu diperhatikan juga kontak siswa atau guru dengan orang lain.

Sementara itu, mengenai vaksin Covid-19 yang saat ini gencar diujicobakan, Endah mengatakan masih dibutuhkan waktu serta uji klinis tentang keefektifannya sebelum tersedia secara luas. WHO telah menyatakan bahwa setidaknya sudah ada lebih dari 100 perusahaan vaksin di berbagai negara yang sedang dalam proses uji klinis dan hingga saat ini belum final.

Pernyataan senada disampaikan Wakil Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia Jatim, dr. Atik Choirul Hidajah, M.Kes yang menyebut jumlah kasus Covid-19 pada anak di Indonesia hingga saat ini mencapai 9,7 persen dari total penderita Covid-19. Angka itu setara dengan 24.966 anak.

Secara rinci, jumlah tersebut terbagi menjadi 2,4 persen anak usia 0-5 tahun dan 7,3 persen anak usia 6-18 tahun. Menurut Atik, untuk kembali membuka sekolah dan melakukan kembali pembelajaran tatap muka tentunya dibutuhkan kajian secara ilmiah.

"Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merupakan pilihan paling baik untuk mencegah penularan antara siswa serta penularan siswa kepada guru," ujarnya.

Meskipun demikian, Atik meminta orang tua mewaspadai imbas akibat pembelajaran jarak jauh atau PJJ, bagi kesehatan anak. Di antara dampak buruk PJJ adalah computer vision syndrome, seperti gangguan mata, otot, dan penglihatan akibat terlalu lama menatap layar gawai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement