REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai, wacana rekonsiliasi antara pemerintah dan Habib Rizieq (HRS) hanya upaya untuk membuat sinyal positif. Rencana itu dilihatnya sebagai sebuah gimmick atau muslihat saja.
"Saya kira itu gimmick ketimbang realitas faktual. Ya rekonsiliasi itu penting, siapa pun harus membuat gestur untuk memberi sinyal positif," ujar Burhanuddin dalam sebuah diskusi daring, Ahad (15/11).
Rekonsiliasi secara simbolik antara pemerintah dan HRS, dinilai mungkin saja terjadi. Hal itu dilakukan untuk menurunkan tensi politik yang sedang tinggi untuk saat ini.
"Sah saja supaya tensi politik bisa mereda di tingkat bawah, tetapi tidak akan bisa menyelesaikan perbedaan yang tajam," ujar Burhanuddin.
Namun, tensi politik antara pemerintah dan HRS dinilai akan selalu tinggi dan panas. Khususnya selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang tersisa empat tahun lagi.
Sebab, Jokowi dan HRS dinilai sebagai simbol dari dua kelompok yang berbeda. Sehingga menimbulkan perang budaya yang memiliki sikap dan cara pandang yang berbeda.
"Proses pembelahan melahirkan dua buah wajah Indonesia, yang masing-masing punya representasi baik dari sisi aktor politik maupun keagamaan," ujar Burhanuddin.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Kadir Karding menilai rekonsiliasi atau ia sebut islah antara pemerintah dan HRS mungkin saja terjadi. Tetapi, ia masih tak mengerti apa yah harus direkonsiliasi.
"Makanya, diperjelas apa yang mau diislahkan? Lalu yang kedua apa saja yang poin-poin yang mau diminta dan bisa diakomodasi oleh pemerintah," ujar Karding.
Jika HRS meminta agar dilepaskannya sejumlah tokoh yang pernah ditangkap, hal itu menurutnya harus mengikuti prosedur hukum. Sebab jika itu dilakukan, pemerintah akan disebut melanggar hukum.
"Tidak boleh pemerintah melanggar hukum. Jadi ada ada ininya, ada tahapan-tahapannya kalau mau ada islah," ujar Karding.
BACA JUGA: Ini Kronologi Kasus Penarikan Cadar Muslimah Oleh "Ustadz" Versi Korban