REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Kejaksaan (Komjak) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) melebarkan pengungkapan skandal pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra. Ketua Komjak Barita Simanjuntak mengatakan, penyidikan tak menyeluruh, membuat publik, menanam curiga adanya pelokalisiran kasus yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari, dan politikus Nasdem Andi Irfan Jaya sebagai terdakwa.
“Ada proses yang tidak tuntas dalam penjelasan kejaksaan terkait kasus ini. Akibatnya, ada rentetan yang menimbulkan keragu-raguan, dan ketidakpercayaan publik terhadap kejaksaan dalam kasus Djoko Tjandra ini,” kata Barita, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (3/11).
Menurut Barita, ketidakpercayaan publik tersebut, terlihat dari kengganan kejaksaan melebarkan proses pengungkapan terhadap nama-nama penegak hukum yang belum tersentuh.
“Di situlah harus ada pembuktian dari kejaksaan, untuk bisa lebih terbuka, dan profesional dalam penanganan terkait keterlibatan oknum-oknum penegak hukum lainnya dalam kasus ini,” terang Barita.
Komjak menyoroti sejumlah sangkaan pasal terhadap Pinangki, pun Andi Irfan yang hilang dari dakwaan. Seperti raibnya, Pasal 6 ayat (1) a tentang dugaan suap-gratifikasi terhadap hakim.
Barita, mengungkapkan, saat ekspos dan gelar perkara bersama Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Komjak, September lalu, tim penyidikan dari kejaksaan, membeberkan soal duduk perkara kasus Djoko Tjandra. Diceritakan Barita, ada penjabaran tentang keterlibatan Pinangki, bersama-sama Andi Irfan dalam upaya penerbitan fatwa MA untuk membebaskan Djoko Tjandra.
Dari permufakatan jahat tersebut, kata Barita, penyidik beralasan menetapkan tersangka dengan Pasal 5, dan Pasal 15 UU Tipikor, dan selanjutnya menebalkan Pasal 6. “Objek dari permufakatan jahat itu, untuk kepengurusan fatwa MA. Memang disebut di situ (saat ekspos), ada keterlibatan Pinangki, dan Andi Irfan ke hakim di MA,” terang Barita.
Akan tetapi, penyidikan lanjutan di JAM Pidsus, tak lagi menerapkan sangkaan suap-gratifikasi untuk hakim tersebut. Namun, Barita mengatakan, Komjak tak punya kewenangan melakukan intervensi, dan upaya mendesak proses penyidikan di kejaksaan.
Sebab kata Barita, Perpres 18/2011 tentang peran Komjak, membatasi kewenangan agar memberikan kemandirian jaksa dalam setiap proses penyidikan, pun penuntutan. Tetapi, kata Barita, Komjak punya kewenangan melakukan evaluasi, dan pengawasan terkait seluruh proses penyidikan, sampai pada penuntutan yang dilakukan jaksa.
In Picture: Pinangki Jalani Sidang Lanjutan Kasus Suap Djoko Tjandra
Terkait raibnya Pasal 6 ayat (1) a dalam dakwaan Andi Irfan, pun Pinangki, kata Barita, tetap akan menjadi bahan evaluasi, dan pengawasan terhadap kejaksaan. “Ini (hilangnya Pasal 6 dalam dakwaan) juga bagian yang kita monitoring, dan evaluasi. Kita akan mempertanyakan hilangnya Pasal 6 itu ke kejaksaan. Tetapi, tentunya, ini ada serangkaian peradilan yang sedang berjalan,” terang Barita.
Kordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuding, tak diterapkannya sangkaan suap-gratifikasi hakim, upaya kejaksaan agar kasus tersebut, tak melebar ke mana-mana. “Ini (hilangnya Pasal 6) memang tampaknya untuk melokalisir kasus ini, supaya tidak merebak kemana-mana,” kata Boyamin.
“Kita patut curiga, itu (hilangnya Pasal 6) untuk ada yang dilindungi,” sambung Boyamin.
Namun, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono menerangkan, hilangnya Pasal 6 dalam dakwaan, karena penyidik tak menemukan bukti adanya suap kepada hakim di MA.
“Jadi dia (Andi Irfan), hanya swasta yang bersama-sama Pinangki (terdakwa), sebagai penegak hukum melakukan tindak pidana permufakatan jahat,” terang Hari, Senin (26/10).
Direktur Penyidikan di JAM Pidsus Febrie Adriansyah, juga pernah menegaskan tentang hal yang sama. “Tidak ada bukti penyuapan (kepada hakim) itu,” terang Febrie pekan lalu.