Jumat 30 Oct 2020 20:56 WIB

PJJ Harus Dievaluasi Total Usai Kasus Bunuh Diri Siswa

Sekolah diminta mengurangi beban psikologis peserta didik selama PJJ

Pekerja menata alat peraga pendidikan di Workshop Hanimo, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Pembuatan alat peraga pendidikan dan alat permaianan luar ruangan mengalami penurunan mencapai 60 persen karena banyak sekolah melakukan sistem pembelajaran jarak jauh via daring akibat pandemi Covid-19. (ilustrasi)
Foto: ASPRILLA DWI ADHA/ANTARA
Pekerja menata alat peraga pendidikan di Workshop Hanimo, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Pembuatan alat peraga pendidikan dan alat permaianan luar ruangan mengalami penurunan mencapai 60 persen karena banyak sekolah melakukan sistem pembelajaran jarak jauh via daring akibat pandemi Covid-19. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Antara

Pemerintah pusat diminta untuk mengevaluasi total pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang telah berlangsung selama pandemi Covid-19. Belakangan, PJJ telah mengakibatkan terjadinya kasus bunuh diri siswa SMP di Tarakan yang diduga karena merasa berat menjalankan tugas-tugas selama PJJ.

Baca Juga

Komisioner KPAI, Retno Listyarti menjelaskan, ia sudah mendengar penjelasan orang tua korban yang mengatakan, korban memiliki 11 tagihan tugas mata pelajaran saat menjalani PJJ. Menurut orang tua korban, siswa tersebut tidak mengerjakan tugas bukan karena malas.

Namun, Retno melanjutkan, korban merasa kesulitan mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Sementara itu, orang tua korban tidak bisa banyak membantu terkait pengerjaan tugas tersebut.

"Barangkali tujuan pihak sekolah hanya sekedar mengingatkan dan memberikan dorongan agar para siswanya mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugasnya yang tertumpuk. Namun, bagi remaja yang mengalami  masalah menta ketidakmampuan mengerjakan tugas-tugas PJJ, memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan pikiran tentang bunuh diri," kata Retno, Jumat (30/10).

Menurut Retno, tidak adanya kasus bunuh diri siswa di daerah lain, bukan berarti sekolah atau daerah lain menjalani PJJ dengan baik-baik saja. Ada kemungkinan, fenomena seperti yang terjadi di Tarakan seperti gunung es dari pelaksanaan PJJ yang bermasalah dan kurang memperhatikan kondisi psikologis anak.

"KPAI mendorong Kemendikbud, Kemenag, Dinas-dinas pendidikan dan kantor wilayah Kementerian Agama untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan PJJ," kata Retno.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mendorong pihak sekolah mengurangi beban psikologis peserta didik khususnya dalam hal pengumpulan tugas selama PJJ. Sekolah jangan sampai memaksa seorang siswa mengumpulkan tugas tanpa mengetahui kondisi dan kendala siswa tersebut.

Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo mengatakan sekolah harus melihat situasi siswa yang tidak mengumpulkan tugas. Ia juga menyarankan agar sekolah memberikan bimbingan dan pembinaan psikologis kepada siswa yang bersangkutan.

Untuk tugas yang sudah menumpuk dan telanjur tidak dikerjakan dalam waktu yang lama, baiknya dimaafkan dan siswa diberi bimbingan konseling. "Setelah mental peserta didik dibina dan disiapkan untuk mengerjakan tugas yang baru di waktu yang akan datang, itulah yang akan ditagih," kata Heru, Jumat (30/10).

Selain itu, guru bimbingan konseling juga harus diberdayakan untuk membantu siswa yang mengalami tekanan. Kesehatan mental siswa harus dijaga selama masa pandemi Covid-19 masih berlangsung.

Heru menambahkan, untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu menginstruksikan dengan tegas kepada Dinas Pendidikan di daerah agar sekolah mematuhi Surat Edaran Sesjen nomor 15 Tahun 2020. Surat Edaran tersebut berisi pedoman penyelenggaraan belajar dari rumah.

"Pedoman ini mengatur berbagai cara BDR (belajar dari rumah) yang disesuaikan dengan kondisi siswa, sehingga tidak terjadi pemaksaan satu model, misalnya online, sementara siswa kesulitan sinyal internet," kata Heru.

FSGI juga mendorong agar Dinas Pendidikan di berbagai daerah mewajibkan sekolah menerapkan Kepmendikbud Nomor 179/p/2020 tentang Pelaksanaan Kurikulum Darurat. Kurikulum Darurat dinilai akan meringankan beban belajar siswa, guru, dan orang tua sehingga anak tidak merasa tertekan.

Sebelumnya, Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) menilai, evaluasi PJJ harus lebih dulu dilaksanakan sebelum Asesmen Nasional (AN) dilakukan. Masalah PJJ harus diselesaikan sebelum pemerintah melaksanakan sistem asesmen pengganti Ujian Nasional (UN) tersebut.

Koordinator P2G, Satriwan Salim menilai AN berpotensi besar menambah beban baru bagi sekolah, guru, siswa dan orang tua. "Jadi sebelum menjalankan program AN, Kemendikbud bersama Pemda hendaknya melakukan pembenahan dan evaluasi terhadap kualitas penyelenggaraan PJJ," kata dia, Selasa (20/10).

Menurut Satriwan, AN akan sukses terlaksana jika masalah-masalah PJJ diselesaikan. PJJ harus terlebih dulu terlaksana dengan baik dan berkualitas. Saat ini, PJJ masih mengalami kendala yang relatif sama sejak dimulai pertengahan Maret 2020 lalu.

"Bagaimana siswa akan nyaman dan tak terbebani mengisi soal-soal AN, sementara mereka sudah terbebani belajar dengan ragam kendala selama PJJ selama berbulan-bulan, tentu ini sangat tidak adil," kata dia lagi.

Terkait hal ini, P2G meminta Kemendikbud menunda pelaksanaan AN yang dijadwalkan Maret 2021. Pemerintah perlu terlebih dahulu fokus pada penyelesaian masalah PJJ sebelum menjalankan kebijakan-kebijakan yang menyangkut siswa.

Direktur Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Praptono mengatakan, guru masing mengalami kendala dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh.

"Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kemendikbud, sebanyak 60 persen guru mengalami permasalahan dalam pembelajaran yang melibatkan TIK," ujar Praptono dalam webinar di Jakarta, Kamis (22/10).

Kendala yang dihadapi mulai dari kompetensi guru menggunakan perangkat TIK hingga ketersediaan jaringan internet. Kemendikbud, lanjut dia, telah berupaya mencari solusi mengatasi kendala yang ditemui selama penerapan pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19.

Bantuan yang diberikan mulai dari bimbingan teknis pada guru, kuota internet, menyiapkan bahan ajar, rencana pelaksanaan pembelajaran, hingga bantuan infrastruktur di sekolah. Dirjen Guru dan Kepedidikan Kemendikbud Iwan Syahril, mengatakan, hampir tujuh bulan Indonesia dilanda krisis pembelajaran akibat pandemi.

"Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi seluruh negara. Kita harus melakukan adaptasi dengan kondisi ini," kata Iwan.

Gantung diri

Seperti diberitakan sebelumnya, seorang siswa di salah satu SMP di Tarakan ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi tempat tinggalnya di Kelurahan Sebengkok, Tarakan, Selasa (27/10) sekitar 17.00 Wita. Berdasarkan keterangan beberapa saksi, korba mengaku sempat mengeluhkan banyaknya tugas dari sekolah.

"Berdasarkan keterangan beberapa saksi, korban ini orangnya pendiam tapi pernah mengeluh karena banyak tugas dari sekolah," kata Kasat Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polresta Tarakan Iptu Muhammad Aldi, Selasa.

Tewasnya siswa yang berusia 15 tahun tersebut membuat geger warga sekitar tempat tinggal korban di RT. 32 Kelurahan Sebengkok. Selanjutnya, petugas dari Polresta Tarakan membawa korban ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan untuk dilakukan visum.

"Hasil visum tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Posisi korban lidahnya tergigit dan mengeluarkan kotoran, dugaan awal kami memang merupakan murni gantung diri,” kata Aldi.

Penyidik juga sudah mendatangi memeriksa beberapa saksi menemukan pertama kali yang ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

"Saksi yang diperiksa baik itu dari keluarga atau dari kerabat yang diminta tolong, termasuk orang tua korban,” kata Aldi.

Sejumlah warga mengaku prihatin dan meminta agar pihak sekolah dan orangtua menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran.

"Innalillahi wa innalillahi roji'un. Selain banyak tugas tanpa orang tua sadari, bentakan dan amarahan mereka bisa kism menjadi beban mental anak tertekan," ujar Icha, salah seorang pelajar menuturkan tekanan selama PJJ selama pandemi Covid-19.

Amy, salah seorang pelajar SMA Tarakan mengatakan bahwa bisa jadi hal itu dipicu orangtua yang kurang perhatian terhadap anak.

"Sekolah (proses mengajar belajar) tatap muka bukan jaminan jika orangtua kurang perhatian sehingga beban ditanggung sendiri anak, apalagidi masa pandemi ini tingkat stres tambah tinggi," ujarnya.

"Hal yang dikhawatirkan terjadi, bagaimana anak tidak stres, di sekolah mendapat beban bahkan ancaman dari pengajar terkait nilai, belum lagi masalah biaya pulsa dan jaringan internet banyak bermasalah," kata Kartini, salah seorang orang tua pelajar di Tarakan.

Persoalan lain, peranan orang tua ikut membuat siswa banyak tertekan karena. mereka memang tidak memiliki kemampuan ikut membimbing atau mengajar. Kartini berharap atas kejadian itu segera dievaluasi tentang sikap para guru serta sistem belajar mengajar jarak jauh ini.

photo
Statistik pembukaan sekolah. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement