REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penangkapan sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menuai kritik. Lantaran, dalam pengungkapannya para aktivis dipertontonkan bak teroris, dengan tangan diborgol dan dikenakan rompi oranye. Praktisi dan pengamat hukum, Syahrir Irwan Yusuf meminta Polri lebih bersikap proporsional.
"Semestinya Polri proporsional dan menjunjung tinggi asas equality before the law sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 maupun HAM Universal," tegas Syahrir saat dihubungi melalui sambungan telepon, Ahad (18/10).
Sementara para koruptor misalnya, tidak diperlakukan sedemikian rupa. Padahal prinsipnya, semua warga negara sama di depan hukum atau asas equality before the law. Kesetaraan ini berlaku untuk perlindungan hukum maupun perbuatan hukum. Baik hukum priva9t maupun publik. Dalam kasus aktivis KAMI, perlakuan penegak hukum tidak semestinya begitu.
"Kita tentu menyayangkan perlakuan yang berbeda dari penyidik terhadap aktivis KAMI. Sementra buronan koruptor Djoko Tjandra tidak diperlakukan seperti itu. Termasuk terhadap Irjen NB (Napoleon Bonaparte)," kritik Syahrir.
Namun, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono membantah terkait adanya perlakuan berbeda terhadap para tersangka. Ia mengeklaim, pihaknya memperlakukan semua tersangka dengan perlakuan yang sama. Tidak terkecuali antara tersangka kasus korupsi dengan aktivis KAMI yang diduga melanggar Undang-undang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE).
"Selama ini kami sampaikan sama kan tidak ada perbedaan dengan tersangka-tersangka lain," tegas Awi beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Bareskrim Polri telah menahan tiga petinggi KAMI. Ketiganya adalah Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Jumhur Hidayat. Kemudian juga ada lima orang yang terafiliasi dengan KAMI, yang ditangkap dalam waktu yang berbeda itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Kelima Khairil Amri selaku Ketua KAMI cabang Medan, Devi, Juliana dan Wahyu Rasari Putri.
Untuk kelima tersangka tersebut dijerat dengan pasal ujaran kebencian ataupun permusuhan terkait aksi unjuk rasa penolakan Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja. Hal itu termaktub dalam pasal 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP. Dalam beleid pasal tersebut, seluruh tersangka terancam kurungan penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.