REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (JAM Pidsus Kejakgung) sementara menghentikan pengembangan kasus suap, dan gratifikasi Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari, dan Andi Irfan. Direktur Penyidikan JAM Pidsus Febrie Adriansyah menjelaskan, proses penyidikan para tersangka dan terdakwa yang sudah limpah ke divisi penuntutan, pun persidangan, hanya tinggal menunggu fakta hukum, dan pembuktian di meja hijau.
Febrie mengatakan, untuk sementara ini, timnya di JAM Pidsus, belum perlu menetapkan tersangka-tersangka baru yang diduga terlibat dalam skandal korupsi tersebut. "Saya rasa untuk kasus Djoko Tjandra ini, cukup lah ya. Kita anggap selesai. Tinggal menunggu apa yang terjadi di persidangan nantinya," jelasnya, Sabtu (17/10).
Febrie melanjutkan, dalam persidangan, beban pembuktian, nantinya, tak cuma berasal dari jaksa penuntut umum (JPU). Ia mengatakan, para hakim dan pengacara juga punya beban sama untuk menguak kebenaran.
"Jadi kita lihat lah nanti seperti apa," ucap Febrie.
Febrie tak membantah jika fakta persidangan, akan menguak tentang keterlibatan pihak-pihak lain. Sebab itu, Febrie tak menolak jika hasil persidangan, menjadi pembuka penyelidikan, maupun penyidikan baru yang dapat menambah deretan tersangka.
Sejauh ini, Febrie mengakui, ada sejumlah pihak-pihak penting yang sejak awal penyidikan sarat keterlibatan. Seperti saksi kunci Rahmat, yang punya peran sentral dalam membuka jaringan antara Djoko Tjandra, dan Pinangki. Saksi Rahmat, Febrie menerangkan, minimal dua kali mempertemukan Djoko Tjandra, dan Pinangki di Malaysia. Akan tetapi, saat pemeriksaan, penyidik belum punya bukti-bukti akurat yang dapat menetapkan Rahmat sebagai tersangka.
"Secara fakta, saksi Rahmat ini tidak ada terkait dengan pemberian (dari Djoko ke Pinangki)," jelasnya.
Tetapi, untuk kepentingan pembuktian, saksi Rahmat, tetap akan dihadirkan sebagai saksi saat persidangan nantinya. "Untuk kepentingan jaksa penuntutan, saksi Rahmat ini tetap diperlukan. Statusnya, masih cekal sampai sekarang," katanya.
Begitu juga dalam berkas perkara Andi Irfan. Politikus dari Nasdem itu yang menjadi perantara pemberian uang suap 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar) dari Djoko Tjandra ke Pinangki. Uang tersebut, bagian dari 1 juta janji Djoko Tjandra kepada Pinangki untuk mengurus fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA). Fatwa bebas yang dijanjikan Djoko Tjandra senilai 10 juta dolar (Rp 100 miliar), dalam rencananya, akan diberikan kepada pejabat tertinggi di Kejakgung dan MA.
Akan tetapi, kata Febrie, penyidik juga belum menemukan adanya bukti uang ratusan miliar itu, terealisasi. Sebab dari penyidikan, kata Febrie, rencana untuk mengurus fatwa MA itu, dibatalkan Djoko Tjandra. Bukti-bukti yang menguatkan adanya komunikasi antara Pinangki, maupun Andi Irfan ke sejumlah pejabat tinggi di Kejakgung, dan MA, pun kata Febrie belum dalam ditemukan. “Penyidikan tidak menemukan ada komunikasi itu. Dari Andi Irfan ke MA, itu tidak ada ditemukan,” terang dia.
Sementara itu, pada Jumat (16/10), JAM Pidsus Kejakgung, resmi melimpahkan berkas penyidikan Djoko Tjandra, dan Andi Irfan ke penuntutan via Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus). Pelimpahan tersebut, dilakukan sebelum JPU menyorongkan Djoko Tjandra, dan Andi Irfan ke persidangan untuk pendakwaan. Sementara terhadap Pinangki, pendakwaannya sudah dilakukan sejak Rabu (23/9).