REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil yang menamakan diri Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengecam tindakan brutal aparat kepolisian dalam penanganan aksi tolak Undang-Undang Cipta Kerja di berbagai wilayah Indonesia pada 6-8 dan 13 Oktober 2020. Koalisi mencatat, brutalitas terbaru terjadi di Kwitang, Pasar Senen, Jakarta Pusat pada malam hari (13/10) di mana anggota Polri secara serampangan menembakan gas air mata kepada warga.
Padahal, menurut koalisi, tidak ada ancaman yang signifikan hingga harus menggunakan kekuatan tersebut. Akibatnya warga menjadi korban.
"Keseluruhan peristiwa ini memperlihatkan kepoisian mengutamakan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force), termasuk kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian," kata Koalisi sebagaimana disampaikan Peneliti KontraS Andi Muhammad Rezaldy melalui pesan singkatnya pada Republika, Rabu (14/10).
Koalisi mencatat, peristiwa-peristiwa tersebut menambah panjang deretan peristiwa kekerasan polisi dalam menangani demonstrasi. Tahun lalu, terjadi dalam aksi massa memprotes hasil pemilihan umum di bulan Mei 2019, dan juga aksi damai para mahasiswa dan pelajar dalam gerakan Reformasi Dikorupsi pada bulan September tahun lalu.
Dalam kedua peristiwa tersebut, tercatat ratusan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Antara lain penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindak kekerasan, hingga penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan peluru karet, peluru tajam dan gas air mata.
"Peristiwa kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan kepolisian terhadap aksi protes menolak UU Cipta Kerja adalah repetisi atas pola-pola brutalitas kepolisian pada peristiwa tersebut. Ini adalah sebuah kemunduran," papar Andi.
Koalisi berpandangan kepolisian tidak dapat menggunakan alasan adanya provokasi atau peserta aksi yang terlebih dahulu melakukan kekerasan sebagai justifikasi melakukan kekerasan balik. Tugas kepolisian adalah memastikan pelaku tindak pidana diproses secara hukum, sementara memastikan masyarakat yang terlibat dalam aksi dilindungi hak-haknya.
Koalisi memandang terdapat sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa. Pertama, penggunaan kekuatan berlebihan berupa kekerasan terhadap peserta aksi.
Menurut Pasal 5 Perkap Nomor 1 Tahun 2009, tujuan penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian ialah untuk mencegah, menghambat dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Tetapi yang terjadi sebaliknya.
Tindakan penganiayaan hingga luka-luka merupakan pelanggaran atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang- Undan Nomor 5 Tahun 1998.
Kemudian, pembubaran massa aksi tidak sesuai dengan prinsip dan tahap-tahap penggunaan kekuatan. Masih menurut Perkap Nomor 1 Tahun 2009, dalam menggunakan kekuatan anggota Polri haruslah mengedepankan prinsip proporsionalitas yang berarti penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman dan tingkat kekuatan yang ada.
Lalu Polri juga dinilai melakukan penangkapan sewenang-wenang. Padahal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dikenal istilah pengamanan, yang ada ialah penangkapan. "Alasan pengamanan ini, merupakan tipu daya Polisi untuk tidak menjalankan kewajibannya memenuhi syarat administratif dalam melakukan penangkapan. Perbuatan Polisi ini merupakan pelanggaran serius terhadap kemerdekaan seseorang," ujar Andi.
Koalisi berpendapat tindakan kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan dapat terus terjadi disebakan tidak adanya penghukuman baik secara pidana dan etik terhadap aktor yang melakukan kekerasan dan atasan yang membiarkan kekerasan tersebut. Setidak-tidaknya terdapat 4 (empat) aktor yang harus diminta pertanggungjawaban.
Pertama, anggota Polisi yang melakukan tindak kekerasan. Kedua, anggota pengendali lapangan (komandan kompi atau komandan batalyon). Ketiga, komandan kesatuan sebagai pengendali teknis dan yang keempat ialah Kapolda selaku penanggungjawab pengendalian taktis.
Koalisi mendesak Presiden Republik Indonesia memerintahkan Kapolri untuk segera melakukan reformasi kepolisian secara menyeluruh yang menyentuh berbagai aspek baik kultural, struktural dan instrumental dengan mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik;
Kapolri juga diminta memerintahkan kepada seluruh Kapolda di berbagai wilayah di Indonesia untuk menghentikan tindak kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap massa aksi. Serta melakukan evaluasi terhadap penggunaan kekuatan yang sudah dijalankan.