REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengkritisi penggunaan pasal yang disangkakan kepolisian terhadap sejumlah tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Abdul Fickar mengatakan, susah menyatakan apakah polisi benar-benar menegakkan hukum atau sekadar memukul lawan politik pemerintah.
"Penggunaan pasal pasal ujaran kebencian yg termuat dlm UU ITE terhadap tokoh tokoh politik dan aktivis sulit untuk dibedakan antara penindakan hukum dan pemasungan terhadap hak asasi manusia mengeluarkan pikiran dan pendapat," kata Abdul Fickar kepada Republika.co.id, Rabu (14/10).
Ada delapan pegiat KAMI yang ditangkap polisi yakni Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri, Khairi Amri, Kingkin Anida, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat. Lima orang di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Bareskrim Polri.
Mereka diduga melanggar Pasal 45 A ayat 2 UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 160 KUHP tentang penghasutan yang ancaman hukumannya mencapai enam tahun penjara.
Abdul Fickar mengatakan, UU ITE merupakan UU yang bersifat administratif, di mana pengaturannya lebih mengenai transaksi yang bersifat dan beraspek komersial. Namun, dalam penggunaaannya, UU ITE justru lebih banyak digunakan sebagai aturan pidana yang bersinggungan dengan hak berdemokrasi dan politik.
"Padahal pengaturan pasal ini dalam KUHP sebagai pasal hetzei artikelen sudah dibatalkan oleh MK karena pasal ini bersifat kolonial yang bertentangan dengan iklim demokrasi berdasarkan UUD 1945," kata Abdul Fickar.
Karena itu, menurut pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti ini, akan sulit menggunakan UU ITE secara objektif. "Karena itu juga sulit untuk tidak mengatakan bahwa ketentuan ini bjsa terjebak menjadi alat untuk memukul lawan politik oleh penguasa siapapun juga," kata Abdul Fickar.