Kamis 08 Oct 2020 19:31 WIB

YLBHI Nilai Polisi Jadi Alat Rezim Gagalkan Demo UU Ciptaker

Sesuai konstitusi, polisi seharusnya menjadi alat negara bukan alat pemerintah.

Rep: Dian Fath Risalah, Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat demo menolak Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Aksi yang dikuti ribuan orang dari berbagai elemen mahasiswa dan buruh tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.
Foto: Antara/Zabur Karuru
Polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat demo menolak Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Aksi yang dikuti ribuan orang dari berbagai elemen mahasiswa dan buruh tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, Kepolisian menjadi alat rezim untuk menggagalkan gelombang aksi demonstrasi menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal, sesuai konstitusi, polisi adalah alat negara.

"Upaya menggagalkan aksi sesuai dengan Surat Telegram Kapolri ini

Baca Juga

membuat polisi berpolitik dan sudah menjadi alat rezim. Padahal dalam konstitusi mereka (polisi) alat negara," kata Asfinawati kepada Republika, Kamis (8/10).

Asfinawati menambahkan, YLBHI bersama berbagai organisasi lainnya akan memberikan pendampingan advokasi terhadap para pendemo yang dicap sebagai kelompok anarko yang merencanakan kericuhan. Diketahui, dari 200 pendemo yang diamankan pada Rabu (7/10), 12 di antaranya dinyatakan oleh pihak kepolisian reaktif Covid-19 saat dilakukan tes.

"Kami tim advokasi untuk demokrasi akan memberikan pendampingan," ujar Asfinawati.

Diketahui, sebelumnya beredar Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Asfinawati merasa terdapat beberapa masalah dalam Surat Telegram tersebut.

Pertama, pada bagian satu, Kapolri memerintahkan dilaksanakan “giat fungsi intelijen dan deteksi dini serta deteksi aksi terhadap elemen buruh dan masyarakat guna mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial”.

Asfinawati menilai, masalahnya adalah Polri tidak punya hak mencegah unjuk rasa. Bahkan sebaliknya, menurut Pasal 13 UU 9/1998, diterangkan, “dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum."

Kedua, pada bagian tiga Kapolri memerintahkan, “cegah, redam dan alihkan aksi unjuk rasa yang dilakukan kelompok buruh maupun elemen aksi aliansinya guna mencegah penyebaran Covid-19." Upaya ini dinilai asfinawati diskriminatif karena menyasar peserta aksi.

"Padahal sebelum ini telah banyak keramaian yang bahkan tidak menaati protokol kesehatan seperti di perusahaan, pusat perbelanjaan bahkan bandara. Sebaliknya dua aksi tolak omnibus law sebelumnya terbukti tidak menimbulkan klaster baru Covid-19, " jelas Asfinawati.

Ketiga, pada bagian lima, Kapolri memerintahkan, “lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik” yang tidak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19. Kemudian pada poin 6 Kapolri memerintahkan “lakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah”.

"Poin ini merupakan penyalahgunaan wewenang. Seperti pada poin pertama, Polisi tidak punya wewenang mencegah aksi. Selain itu menurut pasal 30 UUD 1945 dan amandemennya, tugas kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye terhadap pemerintah," tegasnya.

Selain itu, Asfinawati menilai frasa “mendiskreditkan” dalam Surat Telegram Kapolri adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan. 

Penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan dalam penegakan hukum terkait demo UU Ciptaker, juga dinilai Asfinawati salah kaprah. Menurutnya, pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan baru berlaku saat terjadi akibat dan tidak mungkin diketahui pada saat aksi apalagi sebelum aksi.

Ia mencontohkan, pada masa pandemi, berbagai laporan menunjukkan adanya klaster perkantoran tetapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/ pegawai tetap bekerja. Apalagi, sebelum ini juga telah ada beberapa aksi dengan tema lain dan tidak Polri tidak menerapkan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Karena itu, Asfinawati menegaskan, sulit dibantah Surat Telegram Kapolri muncul karena Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah inisiatif pemerintah, dan Presiden sejak awal bahkan menginginkan RUU ini selesai dalam waktu 100 hari. Oleh karenanya, lanjut dia, YLBHI mengingatkan Kapolri bahwa dalam UUD 1945 dan amandemennya Polri alat negara dan bukan alat pemerintah.

"YLBHI mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk tidak mengganggu netralitas serta indenpendensi yang seharusnya diterapkan Polri, " tegasnya.

In Picture: Halte Transjakarta dan Stasiun MRT Bundaran HI Dibakar Massa

photo
Suasana halte Transjakarta Bundaran HI yang dibakar di Jakarta, Kamis (8/10). - (Republika/Putra M.Akbar)

Dikonfirmasi soal tudingan dari YLBHI ini, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono tak berkomentar banyak. Lewat pesan singkatnya, Kamis (8/10), Argo hanya menyatakan, "Polri laksanakan tugas sudah sesuai dengan aturan yang ada."

Sebelumnya, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono menegaskan surat telegram rahasia (TR) merupakan arahan Mabes Polri kepada kesatuan wilayah dalam menghadapi demo dan juga rencana aksi mogok kerja buruh pada tanggal 6-9 Oktober 2020. Oleh karena itu tidak benar jika telegram rahasia Kapolri Idham Azis tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan Polri.

"Seluruh yang disampaikan dalam TR tersebut merupakan arahan agar pemangku kepentingan di wilayah tidak ada ragu-ragu dalam mengambil tindakan di lapangan,mulai dari preventif atau pencegahan, deteksi dini atau cegah dini agar tidak terjadi anarkistis dan belajar dari pengalaman sebelumnya," tegas Awi dalam konferensi pers di kompleks Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (6/10).

Kendati demikian, kata Awi, Polda tetap diperintahkan untuk membuat rencana pengamanan jika terjadi demo.

"Walaupun dalam surat tersebut tertulis tidak menerbitkan STTP, hanya saja pada tupoksinya Polri tetap akan melaksanakan pelayanan, perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat, penegakan hukum merupakan hal yang terakhir dilakukan," ungkap Awi.

photo
infografis aturan tenaga kerja dalam UU cipta kerja - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement