Selasa 06 Oct 2020 05:33 WIB

Kadet Yogya di Medan Juang

Di tengah kemerdekaan, TNI bentuk perwira mengadopsi gaya KNIL dan PETA. Mengapa?

Mayor Oerip Soemohardjo.
Foto: Dok Gramho
Mayor Oerip Soemohardjo.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

“Aneh, negara zonder tentara.” Pernyataan itu dikemukakan oleh Mayor Oerip Soemohardjo. Satu-satunya pemuda Indonesia saat itu yang pangkat dan gajinya setara dengan perwira di kawasan Eropa pada masa penjajahan Belanda. Ia merupakan perwira menengah KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indisch Leger) atau tentara Kerajaan Hindia Belanda.

 

Tentara KNIL memang bertugas melayani pemerintahan Hindia Belanda. Namun banyak di antara anggotanya merupakan bumiputra di Hindia Belanda. Termasuk dan orang-orang Indo-Belanda, bukan hanya orang-orang Belanda saja. Di antara mereka yang pernah menjadi anggota KNIL pada saat menjelang kemerdekaan adalah Oerip Soemohardjo, AE  Kawilarang, AH Nasution, TB Simatupang, dan Gatot Subroto.

 

Kelak mereka memegang peranan penting dalam pengembangan dan kepemimpinan di dalam angkatan bersenjata Indonesia. Belanda memang khawatir dengan tuntutan pemuda yang mendesak  pembentukan milisi bumiputra pada 1916.

Pemerintah Negeri Kincir Angin itu takut memelihara 'anak macan' jika melatih pemuda Indonesia dalam bidang kemiliteran. Mereka khawatir kalau pemuda yang memiliki kemampuan militer akan berbalik melawan mereka.

 

Pendidikan Opsir

Sekolah militer di masa penjajahan pasukan Oranye itu diawali dengan Pendidikan Opsir di Maester Cornelis (sekarang disebut Jatinegara di Jakarta Timur). Atau Indlansche Officieren School, dengan lama pendidikan tiga tahun. Abituren (lulusan sekolah militer) ini berpangkat Letnan Dua Bumiputra (Indlanshe Officier).

 

Namun, status dan gajinya setingkat lebih rendah dari perwira Belanda, lulusan Akademi Militer Breda, Belanda. Kecuali jika melanjutkan lagi ke Hogere Krijgs School, Belanda. Oerip Soemohardjo melanjutkan pendidikan tersebut, dan dia menjadi satu-satunya yang meraih status setara dengan perwira Eropa.

 

Barulah pada 1933, pemuda Indonesia diberikan kesempatan mengikuti seleksi di Koninkelijke Militaire Academi (KMA) Breda. Para abituren di antaranya GPH Purbonegoro, R Suwardi, Samijo, Wardiman, Suryadarma, Dudi Kartasasmita, dan KPH Suryosurarso. Namun, begitu pecah Perang Pasifik, Belanda berpikir ulang.

 

Apalagi, kekuatan angkatan bersenjata Jepang mengejutkan dunia. Tentara Jepang menyebutnya sebagai Perang Asia Timur Raya. Sedangkan, Cina menyebutnya sebagai Perang Perlawanan terhadap Agresi Jepang. Perang itu terjadi di Samudra Pasifik dan sebagian besar Benua Asia. Indonesia yang dijajah Belanda, menjadi salah satu incaran Jepang untuk kawasan Asia Tenggara.

 

Belanda jelas bukan tandingannya. Bahkan, negara besar seperti Amerika Serikat pun diserang pasukan negeri Sakura itu. Termasuk wilayah jajahan yang dikuasai Britania Raya dan banyak negara Eropa lainnya diambil alih Jepang. Perang ini dimulai lebih awal dari Perang Dunia II, yaitu pada 8 Juli 1937.

 

Nah, pada saat itulah pemuda Indonesia diberikan kesempatan mengikuti pendidikan militer yang disebut sekolah korps cadangan lebih populer dengan istilah CORO (Corps Opleiding Reserfe Officierren) dengan lama pendidikan tiga tahun. "Pemuda yang diterima di antaranya AH Nasution, GPH Djatikusumo dan TB Simatupang," papar Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, alumni angkatan pertama Military Academy (MA) atau Akademi Militer Yogyakarta. Wawancara dengan penulis dilakukan pada April 2011.

 

Butuh perwira

Selanjutnya, pada 1939 dibuka KMA di Bandung selama tiga tahun. AH Nasution, TB Simatupang, berserta empat temannya lulusan CORO melanjutkan ke KMA ini. Mereka langsung diterima sebagai kadet tingkat II. Sedangkan, kadet tingkat pertama, di antaranya AJ Mokoginta. Tapi apa lacur, pendidikan belum selesai dan masih berpangkat Vaandrig (Pembantu Letnan) cadet, pasukan Jepang mendarat di Indonesia pada Maret 1942.

 

Pendidikan pembentukan perwira di KMA Bandung pun akhirnya ditutup setelah Belanda menyerah tanpa syarat di tangan Jepang. Jepang yang mengaku sebagai 'saudara tua' itu setahun kemudian (1943) membentuk Boci Gyugun atau PETA (Pembela Tanah Air) untuk para pemuda Indonesia. Tujuannya, sebagai propaganda untuk menghadapi perang lanjutan melawan sekutu. Apalagi negara Matahari Terbit itu semakin kesulitan menghadapi perang yang cukup panjang.

 

Awalnya, Jepang membuka Seinen Dojo di Tangerang untuk mengecek apakah pemuda Indonesia sanggup diberikan pelatihan militer. Dicoba sekitar 50 orang sebagai angkatan pertama, ternyata hasilnya memuaskan. Beberapa alumninya, antara lain Daan Mogot, Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Yono Sewoyo, Sabirin Mochtar, Kosasih, dan Waluyo Puspoyudo.

 

Di Bogor pun dibuka Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Perwira Tentara Sukarela PETA). Mereka dididik menjadi komandan peleton, kompi, dan batalion. Tempat tersebut sekarang menjadi Pusat Pendidikan Zeni TNI-AD. Rensutai Bogor menghasilkan tiga angkatan PETA.

Selama masa penjajahan Jepang pada 1942-1945 itulah, secara diam-diam para pemuda yang telah mendapatkan pelatihan militer baik oleh tentara Belanda mau pun Jepang mengadakan beberapa kali pertemuan. Intinya, lulusan KNIL dan PETA bertekad

membangun angkatan bersenjata Indonesia.

Membentuk BKR

Usai proklamasi kemerdekaan pun disepakati membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945. Diresmikan pada sehari kemudian sebagai hasil dari rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Nama BKR diambil untuk menghindari kesan dunia internasional bahwa Indonesia ikut-ikutan Jepang sebagai negara fasis (militeristik). Ketua badannya adalah Kasman Singodimedjo, bekas Daidanco (Komandan Batalion) PETA.

 

Tetapi dalam perkembangannya, walau Jepang akhirnya takluk oleh sekutu, tentara Jepang merupakan ancaman bagi pertahanan dan keamanan Indonesia sebagai negara baru. Bahkan, pasukan sekutu yang diboncengi NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda, kembali mendarat di Indonesia.

 

Jalan keluarnya adalah maklumat pada 5 Oktober 1945 tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), hasil gagasan Mayor KNIL Oerip Soemohardjo. Di situlah awal mula kalimat: "Aneh, negara zonder (tanpa) tentara”. Alasannya sederhana, penjaga kedaulatan negara merupakan tugas militer.

Oerip sebagai pimpinan tertinggi TKR ditunjuk sebagai kepala staf umum TKR. Pangkatnya pun dinaikkan menjadi Letnan Jenderal TKR. Oerip membentuk Markas Besar Umum TKR di Yogyakarta.

 

Akademi Yogyakarta

Persoalan yang timbul kemudian, bagaimana membentuk perwira dan bintara yang terdidik dan terlatih. Di situ kemudian muncul gagasan membentuk akademi militer dan sekolah kader (bintara) di Yogyakarta. Oerip memanggil Kolonel Samidjo untuk membentuk dua sekolah tersebut di Yogyakarta. Pembukaan dua sekolah militer itu diumumkan kepada masyarakat pada 31 Oktober 1945.

 

Pemuda yang mendaftar ikut seleksi lebih dari 3.500 orang, namun yang bisa diterima menjadi kadet sebanyak 442 orang. Beberapa yang mendaftar ada yang sudah menjadi bintara bahkan perwira. Padahal, rencana semula hanya akan menerima 180 kadet. Seleksi awal meliputi kesehatan dan pengetahuan umum. Tempat pendidikan MA Yogyakarta menggunakan gedung Christelijke MULO, sekarang menjadi SMA Bopkri I.

 

Sedangkan, asramanya menggunakan gedung Penbare MULO I, sekarang menjadi SMPN 5. Kompleks MA berada dekat lapangan olahraga Kridosono. "Pada masa revolusi kemerdekaan ini, fasilitas akademi masih sangat minim, baik buku-buku pelajaran, persenjataan, peralatan, maupun kendaraan," kata Letjen TNI (Purn) Seno Hartono, alumni angkatan pertama MA Yogyakarta. Wawancara dilakukan April 2011.

 

Karena itu pula, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberikan bantuan sejumlah kuda dan sebuah mobil untuk sarana belajar para kadet. Kolonel R Soewardi (1945-1948) dan Kolonel GPH Djatikusumo (1948-1950) menjadi direktur MA Yogyakarta. Para pelatih dan instrukturnya berasal dari bekas perwira KNIL dan lebih banyak memberikan pelajaran teknis militer. Sedangkan, bekas perwira PETA fokus untuk pembinaan mental dan disiplin.

 

Akademi ini awalnya untuk enam bulan saja, dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan tenaga perwira untuk memimpin pasukan ke front pertempuran. Apalagi, sudah terjadi pertempuran dengan tentara Inggris di Magelang dan Surabaya. Bahkan, 23 kadet dibawa ke front pertempuran di Surabaya. Sehingga, pelajaran baru bisa dimulai pada 24 November 1945.

 

Namun belum bisa diikuti oleh semua kadet, karena banyak yang baru pulang dari front pertempuran pada Januari 1946. Secara administrasi pun masih kacau balau untuk membedakan yang mana calon perwira dan yang mana calon kader (bintara). Akhirnya dilakukan seleksi ulang.

Meletusnya pertempuran antara tentara Inggris dan tentara Indonesia di Surabaya mengubah peta politik pada 1946. Inggris akhirnya menekan Belanda yang kembali masuk ke Indonesia supaya mau berunding dengan Indonesia. Negeri Britania Raya itu mengajukan diri sebagai pihak ketiga atau penengah.

Kedatangan Inggris sebagai sekutu untuk melucuti tentara Jepang di Indonesia. Perkembangan terbaru itu akhirnya mengubah pola pemikiran bahwa pendidikan akademi harus diperpanjang dari semula enam bulan menjadi tiga tahun. Sehingga, program pendidikannya menjadi lebih terencana dan terstruktur.

Tujuan pendidikan pun diarahkan mendidik perwira sebagai komandan peleton atau seksi yang cakap dengan bekal pengetahuan umum dan pengetahuan militer yang memadai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement