Ahad 04 Oct 2020 06:43 WIB

Ini Tiga Catata Kritis Demokrat Terkait RUU Ciptaker

Demokrat menolak RUU Ciptaker disahkan menjadi undang-undang.

Hinca Pandjaitan
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Hinca Pandjaitan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Demokrat menolak Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) disetujui menjadi undang-undang. Demokrat menilai, banyak hal yang harus dibahas kembali secara mendalam dan komprehensif.

"Fraksi Demokrat menilai tidak perlu terburu-buru dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, dan kami menyarankan dilakukan pembahasan lebih utuh dan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan," kata Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Demokrat, Hinca Pandjaitan dalam Rapat Kerja Baleg bersama pemerintah dan DPD RI, di Kompleks Parlemen, Sabtu (4/10) malam.

Baca Juga

Hinca menjelaskan ada tiga catatan kritis F-Demokrat terkait RUU Ciptaker; pertama, ada ketidakadilan di ketenagakerjaan, seperti aturan prinsip no work no pay oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per-jam. Menurutnya, aturan mengenai hak pekerja atas istirahat selama dua hari dalam sepekan juga dihilangkan karena 40 jam dalam satu pekan dikembalikan dalam perjanjian kerja.

"RUU ini juga mengandung sistem easy hiring but easy firing, misalnya ketentuan mengenai pekerja kontrak dan outsourcing yang dilonggarkan secara drastis juga menyebabkan pekerja kesulitan mendapatkan kepastian hak untuk menjadi pekerja tetap," ujarnya.

Kedua, menurutnya, terkait sektor lingkungan hidup dan pertanahan. Hinca mengatakan RUU Ciptaker berpotensi memunculkan dampak mengkhawatirkan bagi sektor pertanahan karena melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.

Dalam masalah lingkungan hidup menurutnya, RUU tersebut memberikan kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor dan pengadaan lahan di bawah lima hektare. "Padahal untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya dan lainnya, luas lima hektare dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga. Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan pemerintah daerah," katanya.

Catatan ketiga, menurut Hinca, terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat, fraksinya menyoroti pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah pusat akan menjadikannya superior dibandingkan legislatif, yudikatif, dan pemda.

Padahal, menurutnya tujuan RUU Ciptaker adalah mengefektifkan birokrasi namun aturan terbaru tersebut justru akan merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum dalam hal perizinan berusaha.

"Kami juga menilai proses pembahasan poin-poin krusial dalam RUU Ciptaker kurang transparan dan akuntabel. Hal itu karena tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja, dan jaringan masyarakat sipil," ujarnya.

Sementara itu Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan RUU Ciptaker merupakan RUU pertama yang setiap pembahasannya dilakukan secara terbuka dan transparan yang disiarkan melalui TV Parlemen dan Sosmed DPR sebagai komitmen terhadap reformasi parlemen.

Selain itu menurut Hinca, terkait kewenangan pemerintah pusat terhadap pemda yang dikritik Fraksi Demokrat, pada pembahasan akhir dikembalikan sesuai Pasal 18 UUD 1945. "Terkait kewenangan pemerintah pusat dan daerah, dalam prosesnya dengan kebesaran hati pemerintah, hubungan pusat-daerah dikembalikan sesuai Pasal 18 UUD 1945," katanya.

Baleg DPR RI menggelar Rapat Kerja bersama pemerintah dan DPD RI pada Sabtu malam dengan agenda pengambilan keputusan Tingkat I terkait RUU Ciptaker.

Dalam Raker tersebut, tujuh fraksi menyatakan setuju RUU Ciptaker dibawa dalam pengambilan keputusan Tingkat II dalam Rapat Paripurna untuk disetujui menjadi UU, dan dua fraksi menolak yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement