Sabtu 03 Oct 2020 11:28 WIB

Jenderal tidak Banyak Bicara, Namun 'Gila' Kerja

Jenderal Umar terpaksa jaga Bung Karno saat pacaran dengan Yurike Sanger dan Hariati.

  Peresmian Gedung Jenderal Umar Wirahadikusumah di Makodam Jaya, Cililitan, Jaktim, Jumat (3/10).
Foto: Republika/Selamat Ginting
Peresmian Gedung Jenderal Umar Wirahadikusumah di Makodam Jaya, Cililitan, Jaktim, Jumat (3/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Jika jarum jam ditarik ke masa tahun 1965, pada 1-3 Oktober 1965, Karlinah terus menanti suaminya di rumah Jalan Ki Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta Pusat. Umar tidak pulang-pulang ke rumah. Ia tidur di kursi kerjanya, baik di Markas Kodam Jaya maupun Komando Garnizun Ibu Kota Negara.

Umar baru pulang setelah jenazah tujuh Pahlawan Revolusi ditemukan di sebuah sumur di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, berbatasan dengan Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat. Ketujuh Pahlawan Revolusi itu dibunuh secara keji oleh pasukan pengawal Presiden Sukarno dari Resimen Tjakrabirawa. 

Pembunuhan itu didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI yang mengumumkannya di Harian Rakyat, koran PKI selama satu pekan pemberitaannya. Termasuk melalui karikatur dan tajuk rencananya. Partai komunis itu mendukung penuh pembunuhan para jenderal oleh Batalyon Tjakrabirwa di bawah pimpinan Letnan Kolonel (Infanteri) Untung Samsuri.

PKI menuding para korban sebagai bagian dari Dewan Jenderal. Umar baru pulang ke rumah untuk berganti pakaian dan mengajak Karlinah menghadiri prosesi pemakaman tujuh Pahlawan Revolusi. Dimulai dari Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), Jakarta Pusat hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Setelah itu Umar pun selalu bekerja sejak pagi hingga malam hari sampai Desember 1965. Ia bertugas menjaga stabilitas keamanan Ibu Kota agar tetap kondusif pascaperistiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Empat serangkai menjadi ujung tombak pemberangusan PKI di Jakarta serta penanganan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI.

Mereka adalah Panglima Angkatan Darat/Panglima Kopkamtib Letjen TNI Soeharto, Panglima Kostrad (Pangkostrad) Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah, Panglima Kodam V Jaya Mayjen TNI Amir Machmud, serta Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel (Infanteri) Sarwo Edhie Wibowo.

Umar dan Sukarno

Umar dikenal sebagai jenderal yang tidak banyak bicara, namun 'gila' kerja. Ia memang pendiam, dan lebih banyak mendengarkan dari pada bicara. Tidak banyak jenderal yang bisa diterima dengan baik oleh para atasannya yang saling bertentangan. Umar dianggap sebagai 'anak' oleh Jenderal Gatot Subroto. Ia dianggap sebagai adik yang patuh oleh Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.

Termasuk oleh Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Achmad Yani. Umar membantu Letjen Yani mengadang pendirian Angkatan Kelima oleh PKI. Umar juga dekat dengan Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto. Soeharto memanggilnya dengan sebutan ‘Dik Umar’. Yang mengejutkan, di luar kalangan militer, Presien Sukarno juga sayang kepada Umar.

Tugasnya sebagai Pangdam Jaya pada masa 1959-1965, ternyata juga diberi tugas tambahan yang tidak kalah berat dan unik. Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengumandangkan Dekrit Presiden. Sejak saat itu pula Sukarno sebagai kepala pemerintahan kembali memiliki kekuasaan hampir tak terbatas. Bahkan diwarnai pemusatan kekuasaan politik di tangan presiden.

Di situlah awal mulanya Demokrasi Terpimpin ditandai dengan munculnya PKI sebagai partai politik paling dominan. Bersamaan dengan itu, tampil pula Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik yang secara langsung berfungsi sebagai pengimbang kekuatan PKI. Sehingga di era Demokrasi Terpimpin inilah hanya memunculkan tiga kekuatan politik utama, yakni Presiden Sukarno, PKI, dan AD.

Dalam puncak kekuasaannya, Sukarno menyandang predikat sebagai 'Paduka Yang Mulia Presiden/Pemimpin Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi'. Maka, semua pihak berlomba menjadi kader 'Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno'. Di sinilah terjadi benih persaingan antara PKI dan TNI AD untuk tampil sebagai pengawal terbaik revolusi.

Kekuasaan Sukarno yang sangat besar itu memunculkan perlawanan dari musuh-musuh politiknya. Mereka berusaha menyusup ke Jakarta melakukan kegiatan subversif. Apalagi TNI gencar melakukan operasi-operasi militer di sejumlah daerah. Upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno juga beberapa kali terjadi di Jakarta.

Misalnya, adanya penembakan dari pesawat tempur MIG-17 yang dilakukan Letnan Udara Daniel Alexander. Pada Mei 1962 juga juga ada upaya pembunuhan terhadap Sukarno di Istana Merdeka. Upaya ini dilakukan DI/TII dikenal sebagai 'Peristiwa Idul Adha'. Tugas Brigjen Umar adalah mencari jaringan pelaku pembunuhan.

Ia juga diberi tugas pengamanan berbagai proyek berskala besar, seperti Kompleks Olaraga Senayan, Tugu Monumen Nasional (Monas), Jakarta By Pass, serta Hotel Indonesia. Pengawasan proyek-proyek mercusuar membutuhkan keberanian dan konsentrasi yang tinggi. 

Misalnya, saat pembangunan Hotel Indonesia. Pintu-pintu yang sudah dipasang, kemudian dirusak dengan kapak. Hasil penyelidikan, ternyata pelakunya kelompok DI/TII. Ia juga melakukan penyelidikan tingginya tingkat kriminalitas di Jakarta Utara. Polisi menyerah, karena diduga di belakang pelaku adalah para tentara dari tiga angkatan.

Umar pun perintahkan agar penyelidikan dilakukan secepatnya dalam satu bulan sekaligus eksekusi tentara yang menjadi backing. Hasilnya, 12 tentara dari tiga angkatan itu berafiliasi kepada PKI sesuai dengan identitasnya. Kodam Jaya mengeksekusi para pelaku. Di luar itu, Umar juga punya tugas 'mengasyikan', yakni mengawal Bung Karno pacaran.

Umar kerap diminta untuk menemaninya wakuncar (waktu kunjung pacar) di Jatinegara pada malam hari. Pacar Bung Besar pada 1963 itu Yurike Sanger. Umar mesti menunggu di dalam jip sekitar satu sampai dua jam. Sebagai Pangdam, Umar tinggal di rumah dinas di Jalan Ki Mangunsarkoro yang sekarang menjadi Jalan Yogyakarta Nomor 36.

Warga di sekitar rumah dinas itu merasa aman dengan kehadiran Brigjen Umar. Sebab rumahnya dikawal pasukan bersenjata, walau tidak terlihat begitu menyolok. Umar kerap mengundang tetangganya berkumpul di rumah dinasnya sambil menonton film. Sesekali mengundang  para artis seperti Mang Udel dan Bing Slamet.

Umar tidak memiliki rumah pribadi. Suatu ketika Mabesad menawarkan rumah di Jalan Madiun untuk kediaman pribadi Umar. Pasalnya, tidak selamanya ia akan menjadi Panglima Kodam V Jaya. Mabesad tidak ingin Umar tinggal di hotel lagi, seperti pada saat menjadi Komandan KMKB Djakarta Raya. Apalagi Umar sudah tiga tahun menjadi Pangdam.

Namun di luar dugaan, Presiden Sukarno juga sedang mencari rumah untuk pacarnya yang lain, yakni Hartarti. Bung Karno juga tertarik dengan rumah di Jalan Madiun yang diperuntukkan untuk Brigjen Umar. Bung Karno kemudian meminta agar rumah tersebut untuk pacarnya yang menjadi istrinya keenam, Hartarti.

Rumahnya posisinya cukup terpencil, jauh dari tetangga. Sehingga Presiden Sukarno tidak terganggu jika mengunjungi Hartarti. Beberapa bulan kemudian, Bung Karno menawarkan kepada Umar, rumah di Jalan Tosari Nomor 11 sebagai ganti rumah di Jalan Madiun tersebut. Umar tidak segera menjawab tawaran tersebut.

Karena jawaban Umar tidak tegas, kemudian Komandan Tjakrabirawa Brigjen TNI Sabur berulangkali mengingatkan Umar untuk segera mengambil rumah tawaran dari Presiden Sukarno. Brigjen Sabur memberitahu Presiden Sukarno bahwa Brigjen Umar menolak secara halus.

Akhirnya suatu pagi, Bung Karno memanggil Umar sambil sarapan di Istana Negara. “Umar, mungkin kamu tidak apa-apa jika tidak memiliki rumah. Tapi kamu kan punya istri dan keluarga yang membutuhkan tempat tinggal tetap,” ujar Bung Karno menyodorkan alasan. Seperti biasa, Umar terdiam. “Ini untuk kawan dari kawan. Ambilah rumah itu,” ujar Bung Karno.

Mungkin bagi Presiden Sukarno inilah bayaran untuk Umar yang menjadi ketua harian panitia pembangunan sejumlah proyek mercusuar di Jakarta. Setelah terus didesak, akhirnya Umar tak kuasa menolak tawaran Bung Karno. Ia menyampaikan ucapan terima kasih banyak atas hadiah dari negara kepada dirinya. Itulah rumah satu-satunya Umar sekaligus pemberian dari Sang Pemimpin Besar Revolusi. 

Hal itu tertuang dalam buku Umar Wirahadikusumah: Menegakkan Kebenaran dalam Diam karya Herry Gendut Janarto, penerbit Pustaka Kayutangan, Malang, tahun 2006. Masa itu pada tahun 1962 merupakan tahun kejayaan Presiden Sukarno. Maka pada ulang tahun ke 17 kemerdekaan Indonesia, pidatonya diberi judul Tahun Kemenangan.

Isi pidatonya berkisar tentang keberhasilan perjuangan pembebasan Irian Barat dan pemulihan keamanan serta ketertiban di dalam negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement